Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sri Mulyani dan Brompton, di Tengah Isu Kemewahan dan Penyelundupan

7 Desember 2019   12:01 Diperbarui: 7 Desember 2019   12:48 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata "penyelundupan" beberapa hari belakangan ini seperti menjadi primadona. Ruang publik penuh dengan kata tersebut. Situasi ini dipicu saat pejabat-pejabat maskapai penerbangan pelat merah, Garuda Indonesia Airways seperti bersepakat untuk menyelundupkan barang yang bisa dimasukan ke dalam kategori barang mewah, melalui jalur priviladge yang dimilikinya.

Mengenai kejadiannya semua pihak sudah tahu lah, bagaimana kejadiannya, siapa saja yang terlibat, barang apa saja yang dibawa masuk. Berbagai media baik mainstream maupun media sosial, sudah mengulasnya dengan sangat lengkap.

Intinya pejabat tinggi Garuda mencoba memasukan secara ilegal 2 Harley Davidson bekas dan 2 unit sepeda bermerk Brompton serta beberapa barang lain ke Indonesia, tapi keburu ketahuan oleh pihak Bea dan Cukai.

Penyelundupan memiliki kata dasar selundup yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah

"se*lun*dup, me*nye*lun*dup v 1 menyeluduk; menyuruk: ada yang - ke kolong tempat tidur dan ada pula yang bersembunyi di balik pintu; 2 masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap (tidak sah): kadang-kadang ada juga perahu-perahu yang membawa barang-barang gelap - ke Toli-Toli; 3 menyusup; merembes: satu kompi dapat - sampai ke tepi Sungai Han; 4 menukik; menghunjam: pesawat pemburu itu - sambil memuntahkan pelurunya; "

Sementara "penyelundupan"  berarti 

"pe*nye*lun*dup*an n 1 proses, cara, perbuatan menyelundup atau menyelundupkan; 2 pemasukan barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena menyelundupkan barang terlarang;- pajak perihal atau perbuatan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pidana di bidang perpajakan"

Nah jika mengacu pada arti diatas, penyelundupan merupakan sebuah laku jahat yang berniat mengakali aturan yang ada. 

Tapi kenapa meskipun itu laku lancung yang memiliki konsekuensi hukum tertentu namun masih banyak  pihak yang melakukannya?

Pada dasarnya  penyelundupan ada karena terdapat keinginan dari individu-individu tertentu mendapatkan keuntungan maksimal dari modal yang minimal.

Mengapa harus menyelundup, karena jika ingin memasukan atau mengeluarkan suatu barang secara legal membutuhkan biaya tertentu yang cukup besar beserta berbagai syarat administrasi yang panjang dan memakan waktu cukup lama untuk mengurusnya. Atau bahkan ada barang-barang tertentu yang dilarang masuk/keluar karena alasan-alasan yang sudah ditetapkan.

Nah dalam konteks kejadian Garuda baru-baru ini, yang coba dimasukan adalah 2 unit motor Harley Davidson FLH Electra Glide Shovelhead 1300 cc keluaran tahun 1968 dalam kondisi bekas.

Kemudian 2 unit sepeda lipat merk Brompton yang merupakan keluaran pabrikan asal Inggris yang kisaran harganya Rp.50juta hingga Rp.100 juta tergantung serinya. Dan konon ada beberapa barang lain seperti tas.

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor  76  tahun 2019 Tentang Ketentuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru (BMTB). 

Merujuk pada lampiran  Permendag tersebut. Kode HS untuk onderdil Moge yang didapati yaitu kode 87.11, tidak ada dalam daftar BMTB dalam aturan tersebut.

Artinya onderdil Moge tersebut merupakan barang yang dilarang masuk ke wilayah Indonesia karena melanggar Permendag tersebut. Clear, barang itu dilarang buat diimpor meskipun masuk secara resmi.

Berbeda dengan 2 unit sepeda Brompton baru, sepeda itu diperbolehkan masuk sepanjang memenuhi aturan yang telah ditetapkan dalam memgimpor barang.

Pelanggaran yang dilakukan pihak Garuda mereka mencoba menghindari aturan Bea dan Cukai serta Perpajakan. Hal ini sama seperti Jastip yang menghindari pajak.

Kedua barang tersebut pada prinsipnya merupakan barang yang legal, karena di negara tempat mereka diproduksi mereka sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada.

Harley Davidson merupakan perusahaan besar yang telah memiliki sejarah panjang di dunja otomotif internasional. Didirikan di Milwaukee Amerika Serikat tahun 1903. 

Saat ini mereka menguasai 80 persen pasar motor diatas 850 cc di Amerika Serikat. Dealer nya tersebar diseluruh dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Situs Harley-Davidson.com sampai kuartal ke III tahun telah berhasil mengapalkan sebanyak 217.000 unit motor dari berbagai seri ke seluruh dunia. Dengan laba  bersih di kuartal ke III  2019 ini mencapai US$ 86,6 juta dolar.

Lantas bagaimana dengan sepeda Brompton? Brompton merupakan  produsen sepeda lipat asal Inggris yang didirikan di Greenford London Inggris oleh Andrew Ritchie pada tahun 1976.

Jenis sepeda yang diproduksi Brompton hanya sepeda lipat saja, dengan ukuran yang seragam dan ukuran ban sama sebesar 16 inch. Kelebihan sepeda ini ialah sangat presisi karena dibuat secara handmade dan sangat ringan karena rangkanya terbuat dari titanium.

Rata-rata setiap tahunnya Pabrikan Brompton menghasilkan 40.000 unit sepeda.  Dengan pendapat pada tahun 2018 lalu mencapai 10 juta Euro dan laba bersih 750 ribu Euro.

Jadi tak ada yang salah dengan barang-barang tersebut, sepanjang  didapatkan dengan cara yang benar dan halal dan uang untuk membeli keduanya juga berasal dari usaha-usaha yang sah tak melanggar hukum

Jika dihubungkan dengan kemewahan, sepeda Brompton dan Motor Gede Harley Davidson mungkin saja bisa dimasukan ke dalam kategori barang mewah.

Jika mengacu pada aturan kategori barang mewah bisa dilihat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 106/PMK.010/2015 Tentang Barang Mewah.

Barang mewah menurut aturan tersebut ialah. Barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok, barang yang hanya dikonsumsi oleh pihak tertentu, dan barang yang hanya dikonsumsi oleh individu berpenghasilan tinggi serta dikonsumsi hanya untuk menunjukan kelas sosial atau status.

Nah agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara individu berpenghasilan tinggi denga individu berpenghasilan rendah maka dikenakanlah pajak barang mewah.

Selain itu pajak dikenakan agar bisa mengendalikan pola konsumsi golongan berpenghasilan tinggi. Serta melindungi pasar tradisional atau produsen kecil di dalam negeri.

Untuk itulah kemudian pemerintah mengeluarkan aturan  berupa Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 pasal 8 tentang Tarif PPnBM yang besarannya bervariasi mulai dari 10 persen hingga 200 persen.

Untuk motor HD yang seperti yang Ari Askhara coba masukan PPnBMnya sebesar 125 persen, dan pajak Bea Masuk sebesar 40 persen, ditambah PPH dan PPN masing-masing 10 persen. Jadi yang pajak yang harus dibayar sebesar 185 persen dari harga motor Harley tersebut.

Sementara untuk Sepeda Brompton pajak yang harus dibayar sebesar 42,5 persen dengan perincian bea masuk sebesar 25 persen, PPN 10 persen dan PPH impor 7,5 persen.

Jadi sebetulnya jika saja Ari mau bayar pajak itu melalui self declare pada saat kedatangan tak akan ada masalah kecuali Harley itu, jika pun ia declare barang itu harus di re-ekspor karena itu dilarang masuk Indonesia.

Rupanya masalah sepeda Brompton tak sampai kasus Garuda aja, entah siapa yang memulai yang jelas kemudian ramai diberitakan bahwa Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Indonesia dalam kesempatan Hari Oeang ke 71 tahun 2017 lalu memakai sepeda merk Brompton.

Foto-fotonya kemudian beredar diberbagai media saat SMI mengendarai sepeda itu. Menurut saya, para pejabat boleh saja memiliki barang yang dianggap mewah. 

Sepanjang mereka mendapatkannya dengan cara yang halal dan uang untuk membelinya pun didapat dari cara yang halal pula.

Jika melihat penghasilan dan laporan LHKPN nya saya rasa SMI mampu kok membeli sepeda Brompton dengan halal, kenapa harus diributkan. 

Walaupun menurut Humas Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti sepeda itu bukan miliknya. Sepeda itu disediakan oleh panitia haei Oeang tersebut.

Hal seperti ini sebetulnya harus diluruskan sebenarnya, menjadi pejabat negara secara hukum masih memiliki hak untuk memakai barang mewah, sekali lagi jika proses mendapatkannya dengan cara yang halal.

Walaupun tentu saja ada etika yang harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebelum membeli dan memakainya.

Sumber
brompton.com
investor.harley-davidson.com
kompas.com
katadata.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun