Limbah, limbah, dan limbah. Produk sampingan dari sebuah proses industri itu selalu dianggap sebagai sumber petaka. Selain itu dianggap tak berarti karena tak memiliki nilai ekonomi atau pun peluang adanya nilai tambah suatu produk. Namun, pola pikir itu sebaiknya cepat-cepat kita sisihkan dari otak kita. Koran Harvard edisi Sabtu 4 Februari 2012 menuliskan hal yang lain mengenai limbah. Periset dari Harvard di Wyss Institute for Biologically Inspired Engineering mampu menciptakan jenis plastik baru dari limbah uang dan protein yang berasal dari sutera. Plastik yang disebut sebagai ‘shrilk’, dan terinspirasi oleh cangkang luar serangga itu, kuat dan mampu terdegradasi secara alami. Menurut sang peneliti, Javier Fernandez, material temuannya itu tipis, bersih, lentur, dan sekuat alumunium. Setiap penemuan dan pengembangan baru sains selalu saja menarik untuk disimak. Sekecil apapun perkembangan dan temuan itu. Karena kini bumi dengan tujuh miliar penduduknya menghadapi masalah yang kompleks. Bukan hanya masalah ketahanan pangan, air bersih, atau pun angka buta huruf, melainkan juga masalah kelestarian bumi itu sendiri. Cara sederhana dan keren untuk memelihara bumi antara lain dengan berjalan kaki ke kampus atau pun dengan naik sepeda. Selain tanpa emisi, kegiatan berjalan, menurut sebuah studi mampu meningkatkan kapasitas otak sehingga individu tersebut tidak mudah pikun. Namun, kendalanya adalah kini masalah berjalan kaki atau pun bersepeda ke lokasi yang dekat itu sepertinya menjadi suatu hal yang memalukan. Selain juga karena masalah fasilitas bagi para pedestrian yang kurang memadai. Orang cenderung segan untuk melakukan dua aktivitas tersebut. Contohnya sendiri di kampus Program Diploma IPB Cilibende, yang notabene menggalakkan gerakan peduli lingkungan. Setiap hari kian bertambah jumlah mahasiswa yang membawa kendaraan bermotor untuk ke kampus. Padahal, jarak dari kost-an relatif dekat. Menggunakan kendaraan bermotor untuk lokasi yang relatif dekat selain boros energi, menambah pengeluaran, juga sangat polutif. Memang banyak yang beralasan demi efisiensi dan efektivitas, namun kebiasaan berjalan kaki memiliki maknanya sendiri. Mengenai efektivitas dan efisiensi, dengan berjalan kaki misalnya, berarti kita berkomitmen untuk selalu bangun lebih awal. Di situlah poin efektivitas dan efisiensi itu bermakna. Selain itu juga masalah fasilitas umum untuk pejalan kaki, atau dikenal dengan area pedestrian. Fasilitas untuk para pedestrian merupakan salah satu problema yang dimiliki oleh kota-kota besar di seluruh dunia. Semakin dinamisnya kehidupan global ini, manusia cenderung makin dinamis. Berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam sehari. Namun, sepertinya kesadaran untuk menyediakan lokasi yang memadai untuk para pedestrian tampaknya belum maksimal di Indonesia. Padahal, beberapa waktu lalu di media cetak disebutkan angka kelas menengah Indonesia relatif banyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal kelas menengah itu, yang cenderung mobilitasnya tinggi, mendambakan fasilitas yang memadai dan juga aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H