Bila kita berbicara mengenai Pasar, yang terbayang di dalam benak kita pasti langsung muncul bayangan akan pasar traadisional, yang berjubel penjual di sisi kanan dan kiri jalanan, serta para pembeli yang lalu lalang di tengah-tengah mereka. Di jaman saya masih kanak-kanak, saya sering pergi bersama ibu saya ke pasar tradisional, entah sekedar mencari jajanan pasar, atau ikut kepo menemaninya berbelanja dan membawakan barang belanjaan. Walaupun agak becek kalau gerimis, dan aroma pasar yang kurang sedap apabila kita memasuki area penjualan daging ataupun ikan, namun seperti itu pula realita kehidupan yang terjadi di sana, mereka berusaha mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka masing-masing.
Siapa sih ibu-ibu rumah tangga yang tidak pernah pergi berbelanja ke pasar?
Mungkin kalau kita tanyakan pertanyaan ini beberapa tahun yang lalu, jawabannya pasti "Semua pernah". Namun pada sekarang ini, bisa jadi ada ibu rumah tangga yang tidak pernah pergi berbelanja ke pasar. Selain kata "Pasar" itu sendiri yang identik dengan Pasar Tradisional, ibu-ibu muda masa kini lebih suka berbelanja di Pasar yang lebih modern, yang lebih bersih, ber-AC pula, yakni pusat-pusat perbelanjaan di Mall. Realita ini memang sudah sesuai dengan perkembangan jaman yang bergerak ke arah modernisasi, sehingga semua sektor kehidupan sekarang dimodernkan, termasuk pasar.
Fenomena pasar modern saat ini sudah menjamur di mana-mana, sejak diresmikannya Sarinah pada 17 Agustus 1962 oleh Presiden Soekarno. Cikal bakal arah dan tujuan pasar modern sudah diletakkan pada saat itu, yang momentumnya makin ke masa kini seharusnya dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat, bukannya semakin mendesak pasar tradisional. Ya semenjak modernisasi tahun 2000an, di berbagai daerah kini mulai terasa fenomena dimana pasar tradisional mulai terdesak oleh modernisasi pertokoan maupun kawasan mall-mall besar.
Dari beberapa kasus yang saya perhatikan misalnya di daerah-daerah besar seperti Jakarta, Semarang, bahkan di daerah kecil seperti di kota saya, Bengkulu, fenomena seperti itu sudah terjadi. Tiba-tiba banyak bermunculan kasus pasar tradisional yang "terbakar", tanpa sebab maupun alasan yang jelas. Padahal suatu pasar tradisional sudah berdiri dan beroperasi puluhan tahun tanpa insiden berarti, dan tiba-tiba terjadi "kebakaran", yang sesudahnya kemudian dibangunlah berbagai kawasan ruko-ruko pertokoan maupun gedung-gedung mall di atas abu pasar tradisional tersebut.
Saya sendiri tidak akan berfokus kepada niat maupun sebab kebakaran tersebut, namun sangat disayangkan bahwa pasar tradisional yang mengalami kebakaran tersebut tidak dibangun ulang sebagaimana awalnya, yaitu pasar tradisional. Dan para pedagang yang awalnya menggantungkan kehidupan mereka dari berjualan di sana, secara otomatis kehilangan mata pencaharian mereka. Lho kan biasanya para pedagang direlokasi? Iya benar direlokasi, tapi relokasi tersebut dilakukan setelah terjadinya kebakaran, dan biasanya lokasi relokasi tersebut diletakkan di posisi yang tidak strategis atau di ujung bagian belakang suatu tanah kosong.Â
Lalu siapa yang mau berjualan di sana kalau tidak ada pembelinya? Pembeli juga ke pasar tradisional pada awalnya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, karena pasar tradisional pada awalnya difasilitasi dengan baik, yakni lokasi yang strategis dan mudah dijangkau, transportasi yang bisa terkoneksi dengan adanya jalan raya, adanya pos polisi atau penjaga keamanan dari pemerintah, ataupun adanya sarana area parkiran bagi pengguna kendaraan. Nah kebanyakan beberapa faktor tersebut tidak dilengkapi ketika adanya proses relokasi suatu pasar tradisional.
Saya secara pribadi tidak setuju dengan kebijakan menggusur pasar tradisional yang ada, dan menggantikannya dengan gedung-gedung pasar modern. Walaupun sesudahnya dibentuk pasar tradisional baru di tempat lain. Ya alasan utamanya sudah jelas, karena potensi lahan di tempat pasar tradisional yang lama jauh lebih besar, yakni seperti beberapa faktor yang saya tulis di paragraf di atas. Dan sudah jelas dengan beberapa faktor di atas, pihak pengembang gedung-gedung mall tersebut hanya perlu melakukan promosi seminimal mungkin, dan sim-salabim, semua orang akan datang karena lokasi tersebut pasti sudah dikenal banyak orang, dan strategis.
Pemerintah daerah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang mendukung pasar tradisional, paling tidak mengimbangi keberadaan gedung-gedung pasar modern dengan pasar tradisional. Selain penghidupan para pedagang yang dipertaruhkan, pemerintah seharusnya tidak mengajari dan memfasilitasi masyarakat untuk bergantung kepada pasar modern yang biasanya dimiliki dan dikendalikan oleh beberapa perusahaan kapitalis raksasa. Dan menurut saya, pencanangan "Hari Pasar Rakyat Nasional" adalah salah satu hal yang tepat dari pemerintah nasional untuk mendukung pasar rakyat. Pasar rakyat adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan bagi rakyat, dan peran serta pemerinta diperlukan untuk mendukung dan memfasilitasinya.
Tidak bisa dipungkiri, pak Presiden Joko Widodo juga nampaknya menyadari permasalahan ini. Dan hal ini merupakan salah satu janji kampanye yang diucapkannya pada bulan Oktober 2015 lalu, dan terlihat beliau juga dengan serius berusaha mengatasi hal ini. Beliau dengan latar belakangnya dari seorang pedagang meubel, jelas memahami arti sebuah pasar rakyat, yang saya yakin juga keluarga beliau sangat memanfaatkan pasar tradisional di kehidupan kesehariannya.
Menurut pandangan saya keseriusan pihak pemerintah dalam hal ini sudah nampak, dan apabila "Hari Pasar Rakyat Nasional" benar-benar dicanangkan, ini akan menimbulkan dampak yang sangat positif di semua lapisan masyarakat. Sama seperti halnya Hari Guru, ataupun Hari Pahlawan, Hari Pasar Rakyat Nasional juga diharapkan akan menumbuhkan rasa cinta terhadap pasar rakyat. Dengan sosialisasi yang mendalam, nantinya masyarakat perlahan akan mulai kembali menyadari pentingnya pasar tradisional, dan akan kembali memalingkan wajah mereka ke pasar rakyat terdekat.