4.SISTEM
---Dalam STABILITAS yang baik akan tercipta keadaan kondusif untuk menciptakan SISTEM. Ibarat menggambar dari kertas putih dan dalam suasana tenang. SISTEM yang ideal mudah direncanakan dalam keadaan stabil.---
*Bagaimana dengan Jokowi?
Rencana Jokowi memperbaiki sistem sudah ada. Cita2 penuh melangit. Ada e-procurement, e-budgetting, dan e-e yang lain. Keinginannya untuk membuat segala menjadi transparan adalah tanda nyata bahwa ia orang baik yang ingin menciptakan sistem yang baik. Tapi ia lupa, bahwa transformasi dari gelap menjadi terang bukan seperti mengklik tombol lampu karena mesti melalui proses di meja2 perundingan dan kasak-kusuk di kamar gelap orang2 yang kotor dan lebih suka keadaan gelap untuk menyembunyikan kekotorannya. Orang2 kotor yang sudah kaya sampai sangat kaya dalam kekotorannya, mungkin sekali juga mau keadaan jadi terang benderang, ASAL dirinya tetap selamat, tidak masuk bui. Ya, selamat sampai usia tua, seperti yang dialami dengan indah oleh orang2 “sukses” pada rezim lalu yang tak terusik setelah lewat pergantian rezim2.
5.KESEJAHTERAAN
---Ketika SISTEM yang baik sudah berjalan, KESEJAHTERAAN adalah akibat langsungnya. Pemberantasan korupsi tidak perlu lagi karena korupsi tidak dimungkinkan lagi dalam sistem yang baik.---
*Bagaimana dengan Jokowi?
Kesejahteraan Rakyat, kami percaya, adalah cita2 Jokowi. Tapi harapan ini bisa sia2 sampai telanjur habis masa jabatannya, bahkan sekalipun ia terpilih untuk periode kedua berikutnya. Mengapa?, karena ia seperti pendahulunya mempunyai kekeliruan PARADIGMATIS tentang hukum, bahwa hakekat hukum adalah BALAS MEMBALAS, bukan MEMPERBAIKI. Juga kesalahan PARADIGMATIS bahwa pemberantasan korupsi adalah mengejar-ngejar, menangkapi, bahkan kalau mungkin menghukum mati yang divonis sebagai koruptor. Padahal, hakekat pemberantasan korupsi adalah PENATAAN SISTEM yang tidak korup, sehingga tidak memungkinkan perilaku korup terjadi, secara otomatis membuat tidak adanya lagi koruptor.
Ilustrasi sederhana adalah seperti sistem pada loket. Pada sistem yang buruk, orang berkerumun di mulut loket buat beli karcis. Pada sistem yang baik orang mengantri. Menghukum orang yang tak tertib, tidak akan efektif untuk menciptakan perbaikan selama SISTEM tidak dirubah dari kerumunan menjadi antrian. Perbaikan bukan dengan mencari, mengejar dan mengusut siapa yang dulu pernah dapat tiket secara tidak mengantri, melainkan perbaiki dulu sistemnya sampai tidak ada lagi orang2 nakal itu.
Menghukum yang kebetulan sudah dapat tiket dengan cara berkerumun dalam sistem yang buruk, adalah ketidak-adilan tersendiri akibat kelemahan sistem.
Maka, menghukum koruptor2 yang korup pada masa sistem masih korup, tidak boleh seberat menghukum koruptor yang korup pada masa sistem sudah baik. Tugas KPK memberantas korupsi adalah menciptakan sistem yang tidak korup, bukan cuma menangkapi koruptor.
Jokowi atau SIAPAPUN yang memimpin negeri tidak akan berhasil menyejahterakan rakyat selama paradigmanya masih PARSIAL, dalam menyelesaikan persoalan. Prinsip "sedikit-sedikit lama2 berhasil jadi bukit" tidak berlaku pada permasalahan STRUKTURAL-sistemik. Permasalahan korupsi dan banyak permasalahan Negara adalah permasalahan STRUKTURAL, dari atas ke bawah, bukan permasalahan mental individual. “Revolusi mental” hanya bisa berlangsung bila REFORMASI SISTEM dalam keadaan yang STABIL (#3) sudah terjadi lebih dulu.
Memang, dengan pendekatan konsep ini yang sudah berhasil korupsi akan gembira karena ada kemungkinan lolos selamanya. Tapi dengan demikian Jokowi akan “sempat” menata sistem yang dicita-citakan bersama. Dan ini lebih realistis untuk tercapai.