Pagi itu baru menujukan wajahnya, sinar mentari baru saja merekah. Tak terlalu menyengatkan panasnya. Awan yang remang-remang menutupinya lembut. Malu-malu dia mengeluarkan dirinya. Seorang pria separuh baya telah bangun mempersiapkan segala sesuatu untuk dirinya. Membersihkan rumah, membangunkan putranya dan membuat minuman untuk dirinya sendiri. Ya hal itu biasa dilakukanya sejak istri tecintanya jatuh sakit. Aktivitas harian tak membuatnya terlampau mengganggu karena sejak kecil dia terbiasa mandiri
Semua telah siap, baju,celana, sapatu boot semua terkemas dengan sederhana dan amat jauh dari kesan kemewahan, namun tetap rapi. Kendaraan plat merahnya telah siap untuk mengantarnya bekerja. Degan semangat yang tak pernah padam, di usianya yang ke 56 tahun dia menerjang jalanan yang mulai mendung. Meski tak lagi muda beliau tetap melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Kendaraanya dipacu dengan tidak terlalu cepat. Menyusuri jalan di antara sawah, dan ladang. Udara segar pedesaan merasuk dalam tubuhnya. Perlahan mengendarai motor dinasnya sambil mengamati pemandangan sawah dengan segala panorama yang menyapu mata.
Mulai Masuk kedalam perkampungan. Tiba-tiba, motornya terhenti di depan rumah yang sederhana pula. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang di tata rapi. Langkahnya untuk masuk kedalam rumah terhenti oleh seorang muda.
“padosi bapak? Bapak teng sabin. Nopo kula padoske sekedap?”(mencari bapak? bapak di sawah, apa saya penggilkan sebentar) cegat si anak yang sigap. Ternyata dia tau maksud kedatanganya.
“gak usah ben aku seng nyusul neng sawah wae.” (Gak usah biar saya menyusul saja).
dia antarkan ke sawah oleh sang pemuda yang ternyata adalah anak dari orang yang di cari. Pemandangan hijau yang di padu kekuningan padi itu telah menyejukan jiwanya. Sejenak dia berhenti untuk melihat tanaman lombok. Dia menemukan suatu keanehan. Ternyata pohon tersebut terserang penyakit. Baru diketahui ternyata penyakitnya bernama CMV (curcumber mozaiq virus).
Beberapa gambar pun diambilnya untuk sekedar dokumentasi. Kamera yang dibawanya tak terlalu modern. Itupun bukan kepunyaanya melainkan kepunyaan anaknya. Puas mengambil beberapa gambar yang menurutnya menarik, di teruskanya perjalanan. Kembali menyusuri hijaunya persawahan. Yang membuatnya berbeda adalah pemandangan di sekitar sekarang beralih menjadi hamparan tanaman cabe. Betapa indah perpaduan antara warna hijau dan warna kuning. Membentuk harmoni yang ditambah dengan warna langit yang biru keputihan. Membuat hati menjadi teduh tenang.
Akhirnya orang di cari pun di dapati. Paiman itulah nama orang yang di cari. Orang desa yang sederhana pula yang di temunyai. Kini dua orang sederhana sedang bercengkrama. Percakapan mereka tak dilakukan di rumah mewah atau di halaman rumah yang besar. Hanya mereka lakukan di sawah. sebab itulah tempat mrnggantungkan hidup mereka.
Banyak hal yang di bicarakan. Terutama Mereka membahas tentang pertania. Bagaimana kondisi di lapangan. Maklum saja mereka adalah petani dengan PPL penyuluh pertanian lapangan. Isu-isu yang sering di britakan surat kabar tak selamanya salah dan tak selalu benar. Di akhir pembicaraan mereka membahas tentang naiknya harga pupuk yang baru saja aku baca di surat kabar. Barang yang sangat di butuhkan petani untuk bercocok tanam.
Proses penyuluhan terjadi sawah tampaknya. Tak sungkan dan rikuh. Dengan sigap pak budi, begitu dia dipanggil memberikan pengarahan agar mengkoordinir kelompok taninya pak painem. Hal tersebut agar lebih effisien dan effektif.
Sesi pemotrean pun dimulai kembali. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemotretan yang dilakukan para artis dan super model. Pemotretan kali ini dilakukan oleh kameraman yang baru sejam lalu mengenal alatnya dengan seorang model petani paruh baya sederhana yang hanya segelintir pengetahuanya nemun mempunyai semangat untuk menghdupi keluarganya.
Setelah selesai dan lelah mulai merasuk dalam tubuh akhirnya pulang. Dengan sedikit rasa kecewa karena petaninya menapatkan tekanan seperti sekarang. Harga pupuk mulai naik, tanamanya terserang penyakit. Namun, dari semuanya itu masih tersimpan rasa puas karena telah berhasil menghimpun data yang di butuhkan. Dari laporan yang sebenarnya ini lah dia berharap adanya perubahan yang lebih baik.
Tak terasa ketika kembali dia menengok ke belakang, ternyata jalan yang di laluinya tak cukup jauh. Hamper dua kilo meter dia lalui dengan tanpa keluhan. Justru sebaliknya hatinya terasa begitu gembira. Dia menikmati setiap jengkal langkahnya. Karena baginya inilah kepuasan batinnya.
Pekerjaan tak hanya itu, dia masih harus menilik ke kantornya. Inilah yang tak dia senangi. Harus terkungkum dengan ruang dan kemrosotanya. Dia adalah orang baru di kantor ini. Maklum dia baru saja dipindah. Cara pindahnya pun tak menyenangkan, itu gara-gara di fitnah. Dengan kejam dia kira korupsi, itu hanya tuduhan sepihak saja. Begitulah nasib orang jujur di ladang kebobrokan. Sebisa mungkin akan dijauhkan dan disingkirkan. Namun, dia tak begitu marah dengan posisinya sekarang. Bagi dia kepindahanya bukanlah hal yang besar. Hanya merupakan ladang baru untuknya berkarya.