Mohon tunggu...
Ferrynela Purbo
Ferrynela Purbo Mohon Tunggu... -

saya adalah orang yang lahir dan besar di daerah pesisir pantai utara jawa. Rembang, kota kecil itulah yang aku dilahirkan dan di besarkan. saat ini sedang menempuh study di UKSW salatiga.mencari pengalaman melalui sekolah kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bingkisan Kartini bagi Zaman

3 April 2011   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari telah malu-malu untuk menunjukan sinarnya. Kini ia mulai meredam kedalam lambatnya waktu, mengikuti roda perputaran yang telah di tetapkan sejak semula. Menghilang, menghempaska keperkasaanya. Tergantikan oleh sinar bulan yang disertai bintang sebagai pengikutnya. Menunjukan waktu telah sore. Seorang tua sedang mengistirahatkan fikirnya, menghindari derasnya arus hidup yang berputar sangat cepat. Di usianya yang senja tak sanggup lagi mengikuti perputaranya. Sadar tak mempunyai kemampuan, terlalu lelah dan renta. Namun, dia terlihat menikmati hari-harinya. Bersantai di beranda rumah dengan membolak-balik buku yang mulai usang. terlihat Halaman rumahnya sendiri di penuhi pepohonan rimbun, buah keringatnya sendiri. Ditanam sejak lama, namun terlupakan ketika dia harus menuntaskan tugasnya. Kembali menyentuh pepohonan sejak tak lagi menjabat sebagai seorang pegawai yang dihormati. Kepala Dinas Pendidikan, Posisinya tak remeh tentunya. Tugas yang mulia telah tuntas dilaksanakan tak kurang lima belas tahun lalu. Kini kembali dikehidupan yang sangat sederhana dan membumi. Tiba-tiba datang seorang wanita yang telah mengguratkan usia matang. Wajah cantiknya terlihat jelas ditambah balutan make up yang pas dan tak berlebiahan. Begitu serasi tubuhnya yang dibungkus dengan pakaian serba biru. Lengkaplah jika melambangkan kecatikan dan kesuksesan seorang muda. Setidaknya jika dilihat dari sudut pandang zaman post modern seperti ini. Tas yang sedari tadi dibawanya diletakan di atas meja, tak menghiraukan seorang tua yang ada di depanya. Raut muka marah padam, jengkel dan benci tersurat jelas di wajahnya. Menyenderkan tubuhnya di atas kursi, sambil menarik nafas panjang dan memejamkan matanya barang sejenak. Orang tua yang biasa di panggil pak sumitro itu menutup buku yang sedari tadi dibacanya. Terlihat wajah terkejutnya. Dahinya yang telah mengerut karena usia tua bertambah berkerut melihat orang yang ada didepanya. “ada apa tho duk, Datang-datang kok berwajah muram begitu?”pelan-pelan dia mencoba membuka percakapan. Tau pasti anak perempuan satu-satunya itu sedang mengalami masalah yang sulit untuk dipecahkan. Beliau hafal benar dengan tingkah polah putrinya tersebut. Tak terdengar jawaban dari wanita yang bernama dewi itu. Sejanak suasana hening, suara hembusan angin yang sepoi itu samara-samar terdengar. “pak mengapa tho mereka tak pernah menghargai semua jerih payahku?” tiba-tiba suara berat namun menyimpan kejengkalan dari wanita itu terdengar. Matanya kembali terbuka dengan pelan-pelan. “padahal aku sudah memberikan segalanya pada mereka. Aku bekerja keras untuk mereka. Segala fasilitas telah aku penuhi. Tapi apa balasan mereka padaku? Mereka semua durhaka.” Suaranya yang tadi pelan tiba-tiba meledak. “ada apa toh?ada apa? Kalo ada masalah di selesaiakan dengan tenang” pertanyaan yang sama terdengar kembali dari suara tua yang teduh, membuat dewi meredakan suaranya. “anakku tadi membentak aku, memarahi aku. Katanya aku tak pernah memberikan perhatian. Ibu hanya perduli dengan uang, ibu hanya peduli dengan pekerjaan. Bagitulah katanya” Berhenti sejenak kali ini suaranya kembali pelan, menarik nafas panjang “padahal aku bekerja kan untuk mereka juga” kali ini air matanya luluh di atas pipinya, menghapus sebagian makeup yang menutup wajah kuatnya kini terlihat wajah yang sebenarnya. Polos dan penuh kesederhanaan Pak sumitro masuk kedalam. membiarkan anaknya yang telah sesenggukan dan tak dapat menahan air matanya. Menetes semakin deras, dan akhirnya menundukan kepalanya menunggu kesejukan kata-kata dari sang dewa. Tak lama pak sumitro membawakan segelas air putih. “minumlah dulu barangkali dapat mengurangi sedikit bebanmu.” Dewi pun menurut apa kata ayahnya. Benar, setelah minum tangisanya berangsur berkurang. “baiklah jika kamu sudah tenang, mungkin aku bias memulai cerita” melihat anaknya udah tenang dia memulai ceritanya. Seorang gadis belia yang mempunyai harapan dan cita-cita yang luhur. Dia hidup di sebuah kota yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan. Kota jepara namanya. Sebagai seorang putri bupati dia mempunyai kewajiban untuk memenuhi seluruh kewajiaban dan adat istiadat. Dia harus menjaga unggah-ungguh sebagai seorang wanita. Tata krama sebagai seorang Raden Ayu sunguh ketat. Banyak tatanan yang mau tidak mau harus di taatinya. Sehingga dia harus terkurung dalam sangkar emas yang talah mendarah daging. Meniadakan segala kemaunya. Kartini seorang yang pernah belajar dan selalu menjadi pembelajar meski tak lagi mengenyam pendidikan kala itu. Banyak belajar dari membaca, berdiskusi dan berkirim surat dengan para sahabat. Pengetahuanya terbuka lebar, hingga dia mengerti adat yang lebih maju dari budayanya yang dianutnya. Dia berteriak terhadap adatnya sendiri. Adat yang mengekang kehidupanya sebagai seorang muda. Yang mengharusnya menikah muda. Dan kembali menjadi seekor burung kepodang di tangan pengasuhnya. Indah, berkecukupan namun tak dapat berbuat apa yang menjadi impianya. Sekuat tenaganya dia berteriak akan haknya, yang telah terenggut. Namun karena cintanya pa sang ayah akhirnya dia berhenti sejenak. Dia lebih memilih mematuhi ayahnya untuk menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang meupakan Bupati Rembang Beruntunglah suaminya tak mengekangnya untuk berkarya. Beliau diberikan kesepatan untuk mendirikan sebuah sekolah bagi kaum perempuan. Betapa gembranya belaiau mendapat kesempatan. Semula dia mengira tak mampu mendapatkan ijinnya. Hingga dia terpaksa untuk menunda keinginanya. Dengan restu sang suami beliau mendirikan sekolah bagi para wanita. Singkat cerita ketika kartini berusia masih sangat muda dan mengandung seorang putra. Kartini tergolek lemaas “Kang mas!” “Ya diajeng ada apa? kakang di sini.” Adipati ario mendekat kepelukan kartini “Dimana anak kita kang mas.Tolong saya mau melihat wajahnya lagi kang mas.”dengan sisa tenaganya belian mencari anaknya. Adipati ario mengambil anaknya yang beada tak jauh dari tempatnya sekarang “Ini putramu dinda. Dia begitu tenang dan tampan” “Mendekatlah pada ibunda anaku. Ibunda ingin melihatmu.Sebelum ibumu ini di panggil gusti ibunda ingin mengucapkan sesuatu untukmu anakku” kini gendongan bearada di tangan Kartini. Seolah dia tau apa yang akan menimpanya “Dinda tidk boleh berucap seperti itu. Dinda adalah orang yang kuat. Dinda harus sembuh, bagaimana dengan putra kita jika dinda tidak sembuh?” terkaget dengan perkataan itrinya. “Betul kanda tapi sekuat apapun kita, tak akan mamu untuk melawan takdir yang sudah di gariskan Gusti. Anaku, engkau akan menjadi seorang yang memegang tahda kadipaten ini. Maka sebelum ibu meninggal ibu hendak berpesan supaya engkau kelak mencari istri harus mempunyai budi pekerti luhur dan mempnyai intelektualitas diiringi sifat kewanitaan yang abadi sehingga akan menjadi mahkota yang paling indah menghiasi kepala.”menimang-nimang bayinya yang bengir dan bagus itu. “Apa yang dinda katakana. dinda tidak boleh pergi. Jika dinda pergi bagaimana dengan aku dan anakmu yang mungil ini dinda?” adipati ario mulai menunjukan rasa sedihnya “Tak perlu engkau menangis kanda. Sebab sudah waktunya adinda pergi. Perjuangan adinda sudah cukup sampai disini." terdengar sayup-sayup rintihanya. "Engkau harus menemukan jalanmu anakku. Kau harus kuat. Untuk itu kelak jika udah waktunya engkau juga harus memilih wanita yang dapat menjadi pendampingmu. Supaya saling mengisi satu sama lain. Sudah cukup ibunda harus pergi anaku. Biarlah engkau menjadi adipati yang bijak." matanya berkaca-kacasambil memandangi putra tunggalnya  "kanda jagalah anakmu ini kelak dia akan menjadi bunga bangsa. Kelak dia akan mewarisi sifat kanda, dan kegagahan kanda. Kakanda tolong bimbing anakmu ini supaya menjadi manusia seutuhnya. Agar dia memperlakukan wanita sebagaimana semestinya. Itu pesanku kalian harus kuat. Sela..mat tinggal anakku.” Setelah beberapa hari berselang akhirnya kartini menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Dengan tenang dan damai beliau meninggalkan dunia ini. Cacatan beliau lah yang telah membuka mata setiap orang. “anakku mungkin engkau sudah bosan dengan cerita yang telah aku sampaiakan ini” sumitro mengakhiri ceritanya. Dewi terdiam seribu bahasa tanpa mampu berucap sepatah kata. “ayah bukankah beliau yang meletakan dasar emansipasi”dewi menghapus air matanya yang telah membasahi hampir seluruh mukanya. Make up yang membungkusnya kini benar-benar telah luntur. Begitu terlihat wajah aslinya yang sederhana dan memang ayu, memancarkan cahaya keindahanya. Dan kembali mengumpulkan kembali puing-puing hatinya untuk berbicara dengan ayahnya. “itu benar anaku, tapi perlu dicermati apa yang sebenarnya beliau pikirkan. Dalam sebuah kisah beliau memimpikan wanita jawa sebagai wanita yang mempertimbangkan perkembangan berbudi pekerti luhur dan intelektual diiringi sifat kewanitaan yang abadi sebagai sebagai mahota yang indah menghiasi kepala manusia.” “tapi ayah, bukankah beliau begitu gigih berjuang untuk menentang kebudayaanya sendiri? Lantas apakah sekarang aku tidak boleh jika aku bersikap mendiri sebagaimana yang diajarkan beliau?”merajut seperti seorang anak yang hendak direbut mainanya. Sekuat tenaga dewi mempertahankan pendapatnya. “anakku ketahuilah jaman dulu itu belum ada kebebasan sama sekali bagi wanita untuk mengembangakan diri. Namun, sekarang sudah berbeda anaku dunia telah terbuka dengan begitu luasnya hingga setiap orang dapat menerima pendidikannya dengan begitu leluasa. Perlu diingat anaku keluluasan itu melupakan apa yang menjadi dasar kehidupan seorang wanita.” “lantas apa yang harus aku lakukan ayah?” “sebagai seorang ibu sekaligus istri kamu harus mampu memberikan kasih sayang dan cinta kepada anak dan suamimu. Kelembutanmulah yang membangun pondasi sebuah keluarga.” Pak sumitro dengan sabar menjelaskan kepada anaknya “bukankah semua sudah aku berikan. Fasilitas yang terbaik, hidup yang baik, dan uang yang lebih dari cukup.” Tersinggung dengan perkataan ayahnya. “anaku dewi, ketahuilah bahwa hidup itu bukan hanya sekedar uang, perut, dan kekyaan. Msih banyak hal yang perlu kau ketahui. Ini soal menjadi seorang manusia yang mempunyai hati dan pikiran.” “maksud ayah aku tidak mempunyai pikiran?” “bukan begitu anaku, mereka punya rasa untuk diperhatikan terutama anakmu  via. Dia hanya ingin di perhatikan oleh ibunya, di berikan belaian lembut di kepalanya saat merajut, di ceritakan sebuah kisah saat hendak tidur, orang tuanya datang saat dia mempertunjukan kemampuanya, makan bersama di satu meja saat senja.”pak sumitro mejelaskan dengan halus dan pelan, kesabaranyalah yang mampu menaklukan putri yang merupakan anak bungsu ini. Kini dewi terdiam “bukankah anakmu itu bertanya dan menggugat itu dia berfikir dan dicerna segala apa yang terdapat di sekelilingnya. Seharusnya engkau bersyukur dia masih memiliki dia. Dia anak yang cerdas dan baik hati, janganlah kau gadaikan kebaikanya hanya dengan sokongan materi semata. Biarlah dia menerima kasih sayang yang utuh dari ibunya . Satu hal lagi anaku, yang perlu engkau ketahui kenapa engkau aku berinama dewi kartini. Sebab ayah ingin enkau menjadi seperti beliau yang bagaikan seorang dewi ditengah ketidak tauan. Sebagai waita hendaknya kau itu mandiri dan menyadari kodratmu. Mandiri adalah wujud kemampuan sebagai seorang untuk mampu berkarya dan berdiri di atas kakinya sendiri. Setiap manusia berhak untuk memperoleh kebebasnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Ayah tidak melarangmu untuk berkarir. Namun, perlu diingat anaku kau juga sebagai seorang waniata mempunyai batas. Dimana boleh dan tidak di lakukan. Selain engkau berkarir angaku juga masih mempunyai suami dan anakmu yang membutuhkan sekedar belaian lembutmu. Kodratmu ituah yang membatasi engkau untuk selalu diingat. Bukankah sudah cukup nafkah yang diberikan suamimu kepada kalian. Biarlah engkau yang membagi kaih dengan anakmu.” Dewi kartini hanya mampu terdiam mendengar petuah yang diberikan oleh ayahnya. Dia tak juga mampu memberikan perlawanan lagi. Dia mulai menyadari bahwa dirinya memang salah. Dia beranjak dari tempat duduknya dan perlahan dia peluk punggung ayahnya yang telah renta. “ayah maafkan dewi, dewi belum bisa menjadi wanita seperti yang ayah dambakan” tak disadari airmataya telah menetes. Kali ini bukan air mata kekecewaan namun air mata haru dan penyesalan. “kamu tak perlu minta maaf pada ayah, yang penting sekarang kamu dating ke anakmu dan minta maaflah padanya” Perlahan dilepasnya pelukan kecil itu, begitu hangat dan terasa indah. Sudah lama anak dan ayah ini tak merasakan kehangatan seperti ini. Kesibukanya telah membuatnya lupa untuk menjadi seorang manusia seutuhnya yang mempunyai rasa dan jiwa.. Di perbudak oleh keinginanya sendiri yang sebenarnya tak tau ujung pangkalnya.

kembalidi publikasikan dari

http://www.facebook.com/update_security_info.php?wizard=1#!/note.php?note_id=388901973757

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun