Tertangkapnya seorang tersangka koruptor akhirnya menjadi sebuah kejadian yang biasa terjadi di Indonesia. Beberapa tahun belakangan KPK, sebuah komisi independen yang dipercayakan negara untuk memberantas praktik korupsi berhasil menangkap koruptor – koruptor kelas wahid. Mulai dari broker proyek, broker partai, broker pajak, ketua partai, direktur perusahaan bahkan sampai sekelas menteri. Dan yang terbaru adalah Pemimpin sebuah Mahkamah. Namanya tentu sudah sangat populer di jagad Indonesia. Karena sebelum memimpin Mahkamah ini, dia pernah menjabat sebagai anggota DPR- RI dari partai berlambang beringin dan pernah juga menulis beberapa buku. Jadi profil beliau sudah tidak asing bagi politisi – politisi di Indonesia.
Yang menarik dari peristiwa tidak terletak pada siapa subjek yang tertangkap, melainkan subyek tersebut menjabat di mana dan posisi jabatan yang diembannya. Subyek Akil tidak ada bedanya dengan Anas Urbaningrum atau Andi M. atau Gayus T atau Fathanah dalam hal melakukan kegiatan yang berindikasi korupsi. Yang membedakan adalah jabatan yang diembannya dan instansi apa yang sedang dipimpinnya. Sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kata “Mahkamah” bisa kita temukan artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sebuah kata benda yang berarti : badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran; pengadilan. Sedangkan “Konstitusi” adalah : segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar dsb); dan undang-undang dasar suatu negara.
Karena itu Akil yang tertangkap oleh KPK adalah subyek yang sedang memimpin lembaga dengan definisi di atas. Kita bisa bayangkan sebuah negara yang aturan atau undang – undangnya dipertimbangkan atau diputuskan sebuah lembaga yang dipimpin Akil andaikan dia (Akil) tidak tertangkap. Berapa orang pejabat yang memimpin secara “ilegal” di negara ini? Atau berapa undang – undang yang dibukukan dengan maksud melegalkan kegiatan korupsi?
Siapa yang melahirkan "Akil"?
Kita sebagai masyarakat biasa pasti terkejut atau cocok dengan pertanyaan saya “betapa mengejutkan bukan?” Tetapi bagaimana dengan pejabat – pejabat kita yang sudah berkawan lama dengan Akil saat beliau (Akil) masih menjabat sebagai anggota DPR atau jabatan lainnya sebelum menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi? Terkejut atau tidak? Coba kita amati atau ingat kembali tertangkapnya Rudi Rubiandini. Yang pura – pura terkejut salah satunya adalah Jero Wacik. Kita bisa simpulkan ini jika kita membaca aturan main dalam pengambilan keputusan di BP Migas. Simpul terakhir berada di Menteri ESDM, bukan?
Berdasarkan argumen serupa, pikiran dan opini kita dalam hal peristiwa tertangkapnya Akil tentu mengarah pada siapa di balik Akil. Mungkinkah para Ketua MK terdahulu berperilaku seperti Akil, dan kemudian pura – pura kaget karena Akil tertangkap? Kenapa para petinggi MK kemudian tiba – tiba seperti over protektif dengan menginterogasi saksi – saksi secara terbuka? Berbagai pertanyaan menarik seperti ini kiranya masih relevan selama motif Akil belum terungkap.
Dalam beberapa media kita bisa baca bahwa Akil diincar oleh KPK sejak 2.5 tahun yang lalu. KPK adalah sebuah komisi independen yang dipercayakan oleh negara dalam pemberantasan korupsi. Kiranya argumen ini sudah kita sepakati bersama dan kita dukung. Kembali saya bertanya kenapa mesti kata “berantas” yang kita sepakati. Kenapa kita tidak menggunakan kata “cegah”. Dalam beberapa bulan kemarin ketika kita masih bersibuk ria dengan kasus penembakan polisi, Karni Ilyas pernah mengangat topik tentang Terorisme dan Pemberantasannya melalui program ILC. Dan dalam acara tersebut saya teringat pendapat Prof J. Sahetapy tentang pemberantasan terorisme. Sahetapy mengatakan bahwa usaha memberantas terorisme sama saja dengan usaha membasmi nyamuk dalam kamar. Semakin dibasmi semakin banyak yang datang. Kiranya teori ini sama halnya dengan kesepakatan kita dalam usaha memberantas korupsi. Semakin diberantas, semakin tumbuh dengan subur. Karena kita semua tidak ingin menggunakan kata “cegah”. Bagaimana mungkin dalam pengawasan 2.5 tahun oleh KPK, Akil tetap saja lolos dan memimpin Mahkamah Konstitusi? Apakah KPK mempunyai niat untuk usaha memberantas korupsi? Apakah definisi pemberantasan korupsi menurut KPK hanya sebatas ketika seseorang tertangkap tangan menerima suap? Atau KPK kekurangan alat bukti dalam 2.5 tahun itu? Mengapa sudah menemukan indikasi tersebut tetapi tidak ada usaha untuk mencegah, setidaknya dalam proses seleksi? Ini pertanyaan konyol yang sering terngiang. Masihkah kita termasuk juga KPK yang adalah sekumpulan masyarakat yang tidak suka dengan korupsi memiliki niat untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi atau bahkan membiarkan bayi “Akil” hidup terlebih dahulu, barulah diberantas sehingga ingin disebut pahlawan?
DPR dalam hal ini Komisi III juga harus bertanggungjawab atas lahirnya bayi “Akil”, DPR harusnya menjadi guru yang baik dalam proses menguji calon Hakim Agung meskipun tingkat intelektualnya kadang – kadang berada di bawah level calon Hakim Agung. Tetapi karena mengatasnamakan rakyat, DPR menjadi guru yang perlu dihormati dan dihargai oleh siapapun yang hendak menjadi Ketua di sebuah Lembaga Tinggi Negara. DPR mestinya berperan protagonis dengan rakyat, apabila tidak ingin mempunyai bayi tidak normal seperti “Akil”.
Yang terakhir dan juga mempunyai andil dalam lahirnya bayi “Akil” adalah Rakyat Indonesia. Kita semua. Menghakimi bayi “Akil” adalah usaha sia – sia. Bayi “Akil” kini sudah dilahirkan dari perut Ibu Pertiwi. Membicarakan ketidaknormalan bayi ini berlarut – larut sama dengan peribahasa “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. KPK, MK dan KITA mempunyai tanggungjawab masing – masing dalam usaha menormalkan bayi “Akil”. Sehingga akil – akil yang akan terlahir dari Ibu Pertiwi adalah akil – akil yang normal, cerdas dan jujur.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H