Sebelum agama-agama luar masuk dalam wilayah Indonesia, Indonesia sudah lebih dulu mempunyai keyakinan lokal atau kepercayaan lokal.
Banyak sekali bukti yang bisa kita jadikan referensi. Contoh yang paling jelas adalah adanya istilah/sebutan untuk Yang Maha Pencipta dalam bahasa-bahasa daerah. Namun sekarang kita sepertinya sudah jarang atau bahkan tidak sama sekali kita menggunakan sebutan ini dalam keseharian kita dalam mengucapkan rasa syukur. Kita justru lebih bangga mengenakan kalung salib atau mengggunakan tasbih, membakar dupa di depan patung dan seterusnya. Pokoknya kita sangat bangga menjalankan kepercayaan yang kita impor dari luar. Kalau kita melaksanakan ritual tidak seperti ajaran yang kita impor maka disebut menyembah berhala. Kalau kita menggunakan istilah yang lain untuk menyebut Yang Maha Kuasa maka kita dikategorikan orang yang tidak beragama. Penyembah berhala yang harus diusir. Jadi sepertinya Yang Maha Kuasa sudah punya nama meskipun Dia tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Tapi tidak masalah itu bukan hal menarik untuk saya.
===================================================
Maksud saya menulis kalimat pendahuluan di atas adalah hanya mau mengkritik head line koran cetak Kompas kemarin (07-11-2013) Dominasi Asing semakin kuat di Indoesia. Kira - kita begitulah intinya.
Pada prinsipnya saya dan mungkin anda setuju, bahwa dominasi asing memang harus dihentikan secepatnya. Tetapi kira - kira dominasi asing pada aspek yang mana, yang harus kita hentikan? Jika kita cermat membaca sejarah perjalanan bangsa ini, dari awal sebelum merdeka saja kita sudah memiliki perilaku bangga menggunakan budaya impor.
Memang kita juga harus mengakui bahwa pada jaman pra merdeka, kita belum memiliki peradapan yang maju seperti sekarang. Kita belum mampu membukukan kepercayaan kita secara lebih terstruktur. Atau mengelolah sumber daya alam dan manusia secara mandiri. Kitapun sangat tidak tahu bahwa ada misi-misi terselubung di balik penyebaran kepercayaan - kepercayaan asing. Kepercayaan asing yang pada waktu itu sudah dibukukan secara baik, diberikan tekanan yang luar biasa hebatnya sehingga kemudian mendominasi kepercayaan lokal yang sebenarnya sama. Pertanyaan sederhananya adalah "apakah kita pada saat itu sudah bisa membaca maksud tersirat dalam penyebaran kepercayaan asing?" A.Einstein sangat bijak merumuskan bahwa “Agama tanpa pengetahuan itu buta” menurut saya tepat untuk menggambarkan peradapan bangsa kita pra merdeka.
Dalam buku "PERANG SALIB" Karen Armstrong secara jelas memaparkan bahwa perang salib pada prinsipnya bukanlah perang agama atau perang untuk mempertahankan kepercayaan tetapi lebih kepada penguasaan wilayah.
Jika ini benar, maka perilaku kita yang dengan bangga menjalankan kepercayaan asing seperti kalimat pendahulu saya di atas, kenapa kita mesti berteriak seperti head line Harian Kompas kemarin?
Bukankah AGAMA berdampingan dengan POLITIK agar tidak tergerus? dan POLITIK sangat erat dengan penguasaan wilayah? lalu dengan metode berpikir deduktif kita dapat menyimpulkan bahwa AGAMA berdampingan erat dengan Penguasaan Wilayah, bukan?
Nah, jika sadar dengan kesimpulan ini, maka saya kira perlu dipertimbangkan kembali bahasa DOMINASI ASING.
Kita lebih bangga dengan kepercayaan asing
Kita lebih bangga dengan barang bermerk asing
Kita lebih suka dengan lagu - lagu asing
Dst....!
Tetapi kita lupa bahwa kita tidak bangga menggunakan perempuan asing.
Kita lebih berselera pada perempuan lokal.
Dalam Teori Psikoanalisis, Freud menganalisa bahwa Orgasme yang sempurna adalah kondisi di mana kepuasaan lahiriah dan batiniah berpadu. Merasakan orgasme yang sempurna sama dengan merasakan keintiman dengan Tuhan. Mungkin Freud menegur kita bahwa yang lokal (original) juga membawamu ke Yang Maha Kuasa!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
God Bless You
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H