Apakah kita termasuk orang yang memproduksi, mendistribusi, dan mengonsumsi kebenaran atau kebohongan? Saya rasa pertanyaan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk menentukan sikap di tengah dinamika sosial yang tak tentu arah. Segala usia sangat leluasa termakan oleh kebohongan, namun tak sedikit juga yang peka akan kebenaran.
Saya terenyuh ketika sekumpulan siswa kelas 4 SD berdebat soal Jokowi dan Prabowo, anak yang pro Jokowi mengatakan "bila Prabowo menang, tidak akan ada lagi dzikir atau hari santri", lalu anak yang pro Prabowo membantah hal tersebut. Kita dapat bayangkan bagaimana jadinya mereka berdebat soal pilpres. Lantas seketika saya melerai karna belum waktunya seusia mereka membahas persoalan politik.
Lebih fatal lagi, ketika perdebatan politik sampai ke tingkat akar rumput, atau ke warung-warung kopi. Alih-alih mencerdaskan, justru malah menceraikan persahabatan. Karna konten perdebatan tersebut dianggap oleh kedua pihak yang berdebat sebagai kebohongan.Â
Bagaimana bisa kebenaran terucap jika di tengah-tengah masyarakat saja saling menduga bahwa si A bohong atau si B bohong, tak akan berujung perdebatan itu. Bahaya lagi jika sampai persaudaraan menjadi renggang, dan akhirnya perkelahian timbul karna berbeda pandangan. Ini bukti bahwa lebih baik akrab dengan kebenaran daripada berteman dengan kebohongan.
Kembali ke pertanyaan awal. Menentukan sikap di saat-saat seperti ini menjadi penting agar nalar sehat kita tidak tercederai oleh kebohongan yang berseliweran: di sosial media terutama.Â
Saya banyak melihat akun-akun di sosial media yang kini tak bisa bedakan mana kebohongan dan mana kebenaran, atau justru hal itu sengaja mereka lakukan karna mental feodal yang mulai mengental hari-hari ini?
Jika benar, maka mental feodal itulah yang melatarbelakangi orang-orang untuk menjadi produsen dan distributor kebohongan, lantas siapa konsumennya? Ya semua orang, dari anak-anak sampai orangtua.Â
Lain halnya apabila mental feodal itu tidak akut. Kita patut bersyukur atas mereka yang diberikan anugerah mental sehat, karna mereka bisa menjadi filter dan acuan bagi kita untuk memilah informasi serta referensi dalam mengolah kebenaran.
Faktor lain yang juga menyebabkan kita canggung, bahkan cenderung tak mengenal kembali si kebenaran itu, seakan kebenaran yang dulu adalah sahabat, kini menjadi musuh adalah kemampuan kita untuk mengolah informasi yang masih kurang, apa benar?Â
Sepeti dilansir oleh Kumparan (22/08/2018), DailySocial.id bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform melakukan riset terhadap 2.032 responden.Â
Riset tersebut mencatat bahwa 44,19 persen responden mengaku tidak terlalu cakap dalam mendeteksi hoax pada suatu informasi, dan sebesar 51,03 persen mengaku diam (cenderung tidak percaya) ketika menemui informasi yang beredar di sosial media.