Mohon tunggu...
Ferry Arbania
Ferry Arbania Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalist

Penyiar Radio Nada FM Sumenep, Redaktur Madura Harian Pagi Memorandum Surabaya, Penyair dan aktivis Pesantren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Hentikan Tarianmu Kekasih

17 Februari 2013   16:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:09 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13610688931458501070

(Catatan  Secangkir Sajak di Sela Kompas  Waktu Yang Gemulai)

Mennjadi penyair di dunia yang serba canggih  saat ini bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun, termasuk dari kalangan ibu rumah tangga, tenaga guru dan bahkan masyarakat biasa, yang kesehariannya sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan dunia penyair. “Dan memang tidak harus demikian dalam melahirkan produktifitas maha karya”.

Buah karya yang tiba-tiba menetas di situs-situs internet, mulai dari fasilitas jejaring sosial berupa facebook, blogspot, word press dan twiter dewasa ini, menjadikan puisi semakin mudah dibaca, dimiliki dan di copy paste oleh ribuan orang dibelahan dunia.

Apalagi, dalam proses publikasi sebuah puisi di internet akhir-akhir ini makin populer diperbincangkan.

Ada yang beranggapan, penulis puisi internet tidak lebih dari sekedar penyair maya, tukang puisi “jadi-jadian” yang hanya bersulang dengan anggur-anggur layu dan tidak jelas eksistensinya. Sebagian lain malah beranggapan, kehadiran puisi di internet mampu menjadi pelipur lara atas beragam penyakit kronis yang diderita bangsa ini. Banyak kalangan sengaja menanggalkan pertengkaran kecil mengenai status puisi dunia maya dengan puisi-puisi yang harus sudah dibukukan. Alasannya sangat sederhana, hampir tidak ada bedanya puisi yang sudah dicetak kedalam sebuah buku menjadi antologi dengan puisi-puisi yang hanya sanggup bertahan diberanda facebook dan blog gratis.

Mengapa kehadiran puisi selalu dipersoalkan? Kenapa puisi seperti juga para penulisnya  seringkali digolongkan pada catatan manusia unik dan njelimet dan cenderung tidak gaul dengan semua kalangan seperti halnya musik dan sinetron?

Inilah pertanyaan-pertanyaan besar yang semestinya harus dijawab oleh para pelaku dan penggiat puisi itu sendiri.

Kalau penyair punya ego yang begitu tinggi, “Kenapa tidak kalian tegakkan sehelai benang menjadi jalan penentu dari sebuah peradaban?”. Dan jika benar kata dalam puisi menjadi sebuah senjata, kenapa kita harus menebaskan pedang kita pada sesama penyair?

Lantas bagaimana dengan anggapan-anggapan miring  yang mensdiskreditkan puisi-puisi maya yang makin laris manis di pajangkan banyak orang di internet? Siapa lagi yang merecoki rimbunnya kata menjadi sebuah makna.

Sepertinya telah tumbbuh sekat-sekat  perbedaan antara para pelaku seni dan komunitas penikmat seni. Dimana para pengamat sastra lebih sibuk meneriaki baju publikasi sebuah puisi hingga tanpa malu-malu berusaha untuk meyakinkan diri sebagai yang terdepan dikelasnya. Ada kecemburuan identitas meski tidak saya sebut sebagai pembunuhan karakter. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mustahil akan mengacaukan serumpun kata yang tengah diupersiapkan penulis –penulis baru di senatero jagad nusantara.

Berdasarkan perbedaan rasa dan selera “manusia puisi” itulah, saya bisa simpulkan dua hal:

Yang pertama, Penyair kita cenderung berjalan sendiri-sendiri baik secara individu maupun kelompok mereka. Satu contoh, ketika ada seorang pemula ingin mendekat dan belajar lebih dekat bagaiman cara terbaik dan paling mudah dalam “menjajakan” puisi ke publik, malah  termiskinkan dalam segi peran dan cenderung tidak dilibatkan secara proporsional dan intensif.

Penyair Dan Kelahiran Puisi Maya.

Akhir-akhir ini pikiran saya sering “terganggu” sekali dengan kalaim sejumlah penyair yang secara terang-terangan “tidak sudi” adanya publikasi puisi hanya sebatas di dunia maya. Puisi yang benar-benar puisi harus dibukukan dalam sebuah buku atau antologi puisi. Dan kehadiran puisi maya, tak uabahnya spam dan sampah yang berserakan tanpa legalitas formal.

Hikss, anggapan-anggapan miring seperti diatas saya pikiir terlalu berlebihan dan tidak patut diamini. Metinya kita berterimakasih kepada dunia yang telah melahirkan faisilitas jejaring sosial facebook dan twiter, blogspot, worpress dan atau apapun fasilitas dunia maya lainnya. Dengan demikian, kehadiran puisi tidak lagi menjadi kesepian sepanjang sejarah kreatif kelahirannya. Kebebasan licentia puitika sebuah puisi tak perlu diperdebatkan. Bukankah puisi tak ubahnya bermuara pada kata.

Ada pesan-pesan spritual, sosial-kemanusiaan, kebenaran dan cinta. Sedang penggunaan diksi adalah sebuah keniscayaan yang sebenarnya__kadang diabaikan_ oleh sang penyair sendiri. Masing-masing penulis memiliki karakter yang berbeda dalam penulisan puisi-pusinya. Ada yang setia pada teori penulisan sajak pendahulunya, ada juga yang membangkang dari teori-teori persajakan. Namun semuanya sama-sama memiliki arti dan nilai pembaca yang juga sama-sama diperhitungkan. Lantas kenapa harus memusingkan diri dengan kehadiran puisi maya? Bukankah ini cara yang paling gress untuk “memperkenalkan” kehidupan puisi pada dunia semakin menyempit di layar komputer?.

Nah, melihat pertarungan diskusi antara oposan puisi maya dengan kalangan penyair orde sebelumnya, kita malah lebih enjoy mengambil jalan tengah diantara pro kontra tersebut. Taruh contoh saja inisiatif dan langkah kongkrit yang telah dilakukan penyair muda Rini Intama Tangerang, yang berhasil meyeret pertentangan itu mennjadi diskusi kebersamaan yang menghangat dalam lingkar Tangerang Serumpun. Belum lagi puisi-puisinya yang baru terbit dan beredar di senatero Nusantara. Penyair yang juga pendidik ini mencoba mengekalkkan jejak sajanya pada sebuah buku (Antologi) puisi bertajuk “GEMULAI TARIAN NAZ, Q-Publisher 2011. Dalam upaya mengkongkrit buah pikir dan perjalan batin sang penulis yang banyak dituangkan di dunia maya inilah, Rini Intama melahirkan buku puisi yang ke enam.

Bahkan lewat Gemulai Tarian Naz, dirinya mencoba menjadi Ratu sajak yang tampil jelita dan mempesona. Dalam buku itu telah tertuang seribu jejak kehidupan manusia yang kompleksitas. Apalagi dibagi dalam beberapa tema universal yang sangat menggugah. Diantaranya ada delapan tema sangat mewakili perjalan batin manusia facebook dewasa ini, yang kemudian dibagi dalam sejumlah sub judul yang memukau, antara lain KEPADA CINTA, KEPADA PEREMPUAN, KEPADA KEKASIH, KEPADA TUHAN, KEPADA ALLAM, KEPADA RINDU, KEPADA SAHABAT DAN KEPADA NEGERI. Di Dub judul yang terakhir ini, Rini Intama mencoba menyajikan tema yanag sedikit seirus dan renyah tentang “Kidung Ngeri”, berikut lengkap sajaknya:

KIDUNG NEGERI

Oh Negeri

Bumi membasah kerena luka

Berlari mimpi di negeri angin

Seperti pavarotti menyanyikan sebuah lagu klasik

Ada kata, nada dan irama indah

Duhai pertiwi

Ada kidung juga

Yang kualunkan sendiri

Kutanam cinta di tanahmu

Kusisip rindu disela bebatu.

Nah, puisi yang ditulis pada bulan Januair 2011 ini hanya contoh kecil yang saya tuliskan disini untuk sekedar meyakinkan hati yang mudah bertuhan pada pemikiran baru tentang penyair maya. Padahal tak seorangpun yang bisa menghentikan tangan-tangan kreatif untuk terus menuliskan jejak sajaknya.

Dengan puisi, mari kita obati segala kekecewaan yang menghancurkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di muka bumi. Kita dan para penyair, jangan hanya larut memikirkan diri kita sendiri.

Bukankah  Tuhan itu, tak hanya hidup di bumi sajak kita,  Indonesia?.

·

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun