Meski (harus )ikut ketawa, saat menyaksikan perjalanan sidang sengketa Pilpres di MK kemarin, tetapi (jujur) saja dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa salud dan kagum dengan kemampuan Novela menciptakan ‘jebakab’ Ndeso dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Hakim MK.
Coba perhatikan bagaiman Novela, yang nota bene seorang perempuan biasa dari kampong terpencil di Papua, sanggup membuat ‘jebakan-jebakan’ diplomatis yang tak memudahkan orang-orang hebat di MK dalam menggali sebuah jawaban yang diinginkan.
Sepertinya, Novela begitu paham, menjawab sesuatu yang bukan domainnya itu bisa berbuntut persoalan lain yang bukan urusannya.
Misalanya saat menjawab pertanyaan Hakim MK, Patrialis Akbar, yang menanyakan “apakah ada masyarakat yang terlihat dilokasi pemungutan suara di kampungnya”, Tanya Patrialis.
Kemudian dijawab simple dan sangat diplomatis oleh Novela yang lugu dari KampunG Papua, “
“Jangan tanya saya Pak, saya juga masyarakat. Terima kasih,” jawabnya tanpa ragu-ragu.
Patrialis tak menghasilkan apa –apa dari ‘jebakannya’ mengorek keterangan Novela yang sebenarnya bukan domainnya perempuan hitam manis itu.
Berikutnya Hakim Arif di meja kebesaran MK melontarkan pertanyaan serius kea rah Novela, terkait apakah Novela melihat aktivitas pemilu di Distrik itu dengan jarak kurang lebih 300 meter?
“Saya tidak mau bicara itu, saya mau bicara di kampung saya saja,” jawabnyadengan nada protes.
“Saya kacau ini kalau begini,” balas Hakim Arif.