Mohon tunggu...
Ferry Adelaide
Ferry Adelaide Mohon Tunggu... -

pelakon pendidikan, khususnya inclusive education.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

RS JMC dan Dr Hamdan SpOT

5 April 2013   11:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:42 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang tua rasanya saya tidak akan bisa memaafkan diri saya sendiri karena telah membuat kesalahan terbesar dalam hidup yaitu yaitu mengantar anak saya ke RS JMC (Jakarta Medical Center) Buncit Raya untuk dioperasi kakinya oleh Dr Hamdan SpOT, yang berbuntut kaki anak saya pincang hingga saat ini.  Rasa miris dan sedih selalu menghantui saya ketika melihat anak saya yang mulai beranjak menjadi seorang gadis remaja berjalan bersama teman-teman sebayanya. Dia berjalan tidak seperti semula, sekarang pincang karena panjang kedua kakinya tidak lagi sama.

Ceritanya berawal ketika beberapa tahun silam anak kami terjatuh saat bermain. Dia mengeluh sakit pada kaki kirinya. Kami berpikir hanyalah keseleo biasa. Jadi dikompres dan diberi betadine untuk memarnya. Beberapa hari kemudian dia luka lecetnya sembuh dan dia berjalan seperti biasa. Setelah kejadian ini anak kami kadang-kadang mengeluh sakit pada lutut kirinya. Karena keluhan yang terus menerus kami bawa ke RS Fatmawati untuk discan. Ternyata menurut dokter disana ada bekas keretakan tulang lutut karena kejadian sebelum sehingga perlu penanganan lebih lanjut untuk meluruskan posisi tulang (dioperasi). Asuransi kami tidak menjalin kerja sama dengan RS Fatmawati maka saya mengambil inisiatif untuk mendatangi RS JMC yang memang lebih dekat dengan tempat tinggal.

Setelah lewat beberapa kali konsultasi Dr Hamdan SpOT dari RS JMC menganjurkan kami menentukan tanggal operasi. Maka April 2010 operasi pertama dilakukan. Jauh sebelum operasi dan sampai menit akhir saat akan operasi dokter Hamdan sama sekali tidak memberi keterangan lebih dahulu mengenai akibat atau resiko operasi yang akan terjadi. Kami berpikir semuanya akan berjalan baik. Namun selesai operasi saat anak kami masih terbaring lemas di meja operasi, dokter Hamdan mendatangi kami menyerahkan bekas tulang beberapa centimeter yang dipotong dan mengatakan kepada kami orang tua bahwa kaki kirinya lebih pendek dari kaki kanan. Kami, terutama istri saya, sangat terpukul, sedih dan marah namun kami berusaha menahan diri karena tidak ingin mengganggu proses penyembuhan anak kami.

Kami mengikuti semua prosedur rawat inap dan rawat jalan sampai bulan Oktober 2010 operasi kedua dilakukan dokter Hamdan untuk melepaskan pen (sektrup). Seperti biasa selesai operasi kaki discan, dan jelas terlihat bahwa bukan hanya kaki tidak sama panjang tetapi juga kaki kiri tidak lurus alias bengkok. Perawat asisten dokter pun berkomentar yang sama dan bicara dengan dokter Hamdan 'dok, kok kaki pasien tidak sama panjang dan bengkok?' begitu katanya yang tidak dihiraukan dokter Hamdan. Kami sangat kecewa dalam hati tetap tetap berprinsip kesembuhan anak menjadi prioritas saat itu.

Selesai rawat inap dokter Hamdan memberi advice anak kami masih harus memakai tongkat selama satu minggu ke depan, setelah itu boleh berjalan tanpa tongkat. Kami sedikit lega karena anak kami akhirnya akan bisa berjalan tanpa pen dan tongkat terlepas dari kaki bengkok dan tidak sama panjang. Nasihat dokter kami ikuti, saya bahkan minta anak kami tetap menggunakan tongkat  lebih dari satu minggu. Sekitar sepuluh hari tongkat dilepas dan Lian berjalan tanpa tongkat walaupun masih pelan-pelan. Kegembiraan kami hanya berumur setengah hari karena siang itu saat berjalan tiba-tiba kaki anak kami patah lagi.

Dari hasil scan di RS JMC terlihat cukup jelas patahan terjadi pada bekas skrup yang belum lama dibuka. Dokter Hamdan yang datang terlihat panik melihat pasiennya mengerang kesakitan. Semua nasihat kami ikuti tetapi nasib baik tidak berpihak pada kami. Maka hari itu operasi ketiga dilakukan. Kaki anak kami dipasangi lagi pen. Saya hanya bisa berlutut dan menangis, menengadah ke atas 'Tuhan, cobaan apalagi yang kami terima? Belum cukupkah sengsara yang diderita putri kami selama ini?'

Semua prosedur rawat inap dan rawat jalan selama setahun kami ikuti. Saya tidak mengerti kenapa operasi pertama hanya butuh waktu sekitar enam bulan untuk membuka pen, tetapi operasi terakhir butuh satu tahun untuk buka pen. Maka Oktober 2011 operasi keempat dilaksanakan untuk membuka pen. Setelah segala penderitaan, sakit hati, waktu, tenaga dan biaya hasilnya lebih buruk dari keadaan semula: kaki kiri bengkok dan lebih pendek dari kaki kanan. Padahal tujuan awal operasi adalah meluruskan tulang kaki yang sedikit bengkok karena pernah ada keretakan yang tidak kami sadari.

Penderitaan fisik yang  selama proses penyembuhan sudah terlewati tetapi kini penderitaan bathin yang diderita anak kami yang mulai beranjak gadis rasanya lebih dasyat. Saya tidak tahan melihat keadaan ini dan memberanikan diri mendekati pihak RS JMC. Pertengahan 2012, perwakilan keluarga mendapat kesempatan untuk bertatap muka dengan pihak RS JMC. Saya sendiri tidak hadir karena saya kawatir tidak bisa menahan emosi yang selama ini terpendam, tetapi tetapi komunikasi lewat email. Tujuan kami adalah bagaimana pihak RS JMC mencoba cari solusi untuk memulihkan keadaan kaki anak kami karena kami tidak mau dia menderita fisik dan bathin di sisah hidupnya. Pertemuan pertama manajemen RS JMC berjalan baik dan mereka berjanji mempertemukan pihak keluarga dengan pihak owner pada pertemuan kedua.

Pertemuan kedua tidak berlangsung lama karena pihak keluarga dihadapkan dengan sejumlah staf rumah sakit dan sekelompok anggota pengacara dari grup SHOLEH, ADNAN & ASSOCIATES yang bermarkas di Graha Pratama Jl MT Haryono. Pihak yayasan RS JMC serta merta secara arogan membela diri dan dokter Hamdan. Katanya semuanya itu bukan malpraktek. Kalau pihak kami tidak menerima, silahkan diproses secara hukum.

Secara finansial saya tidak mampu menyewa pengacara. Saya sudah mencoba cari bantuan hukum ke berbagai lembaga bantuan tetapi untuk kasus seperti ini rupanya tidak mudah mendapat bantuan. Saya pernah berkonsultasi dengan seorang teman yang juga pengacara. Tetapi dengan sangat elegan dia mengatakan tidak bisa membantu lebih banyak karena istri dari partner pengacaranya juga seorang dokter jadi takut melanggar etika kepatneran.

Saya yakin dan percaya apabila hal yang sama menimpa anak dari owner atau pengacara-pengacara mereka pastilah situasinya akan berbeda. Saya menuliskan email kepada pengacara yang mewakili RS JMC mencoba menjelaskan keadaan yang menimpa kami. Jawabannya sama, kalau tidak puas silahkan diproses ke pengadilan. Sangat klasik.

Rekan-rekan kompasiana, bila ada saran atau masukan yang berarti saya akan sangat berterima kasih. Saya yakin ada sesuatu yang tidak beres dalam kasus ini dan tidak akan berhenti sampai disini. Menuliskan kisah ini di Kompasiana paling tidak mengurangi sakit hati saya dan juga ujud permintaan maaf pada anak saya karena sebagai orang tua telah mengambil keputusan yang salah yang berpotensi menghancurkan masa depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun