Kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau lembaga pemerintah atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat (Anderson 1975 & Dye 1972). Kebijakan publik merupakan hubungan antara suatu unit pemerintahan dengan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, maka kualitas lembaga pemerintahan akan menentukan kualitas kebijakan publik bagi kepentingan masyarakat. Di sinilah partisipasi dari semua elemen sangat berperan dalam mempengaruhi kebijakan yang akan dilahirkan, sehingga sesuai dengan kepentingan bersama. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat secara eksplesit menunjukkan bahwa masyarakat menjadi aktor utama pemerintahan. Partisipasi masyarakat mencakup peran serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Syahrir (1988: 320), "Pengertian partipasi dalam pembangunan bukanlah semata-mata partisipasi dalam plaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi partisipasi yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada moto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat". Partisipasi publik dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan, yaitu: pertama, praktik operasional menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi publik, isu-isu yang berkaitan dengan aspek kualitas pelayanan publik, fasilitas bagi pengguna jasa dan sebagainya. Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang menyangkut modal besar sampai anggaran menyangkut gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor dan pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui peningkatan pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan menyangkut tujuan-tujuan strategis dari pelayanan tertentu, rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya. Kualitas partisipasi publik akan menentukan arah dan manfaat kebijakan publik, baik untuk efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun untuk derajat kemanfatan penyelenggaran pemerintahan bagi kesejahteraan masyarakat. Partisipasi itu menjadi perwujudan dari kemampuan masyarakat menyatakan aspirasinya, baik tentang hak yang harus dimilikinya maupun tentang kewajiban yang harus dipenuhi. Biasanya, hal itu dilakukan dengan cara berrkumpul dan berserikat (civil society) untuk kemudian memperjuangkan aspirasi bersama. Civil society merupakan istilah yang menggambarkan masyarakat yang mandiri sehingga secara fungsional berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik dan menyumbangkan berbagai pandangan yang dinamis. Di sinilah kebijakan publik partisipatif akan muncul. Kebijakan publik partisipatif adalah kebijakan yang prosesnya melibatkan semua stakeholders secara berkesinambungan dan proporsional. Esensi kebijakan publik partisipatif adalah kesepakatan tentang pola tindakan yang akan dilakukan dalam mewujudkan kemanfaatan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu, kebijakan publik partisipatif dapat dibangun apabila antara pemerintah dan masyarakat memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengusahakan terbangunnya sistem yang jelas, visioner, dan pasti dalam perwujudannya. Tanpa kemampuan itu, kebijakan publik yang dilahirkan akan berdampak fatal karena manfaatnya tidak pernah dirasakan oleh masyarakat. Maka, kesadaran masyarakat terhadap efektifitas kebijakan publik menegaskan perlunya diupayakan kebijakan publik yang partisipatif.
Konteks Banten Untuk konteks Banten, kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah menarik untuk dicermati. Begitu banyak kebijakan yang telah dilahirkan untuk pembangunan Banten. Begitu banyak pula prestasi yang telah ditorehkan. Namun, penulis ingin mencurahkan perhatian pada kebijakan mengenai buruh karena Banten dipercaya sebagai wilayah pengembangan industri nasional dalam MP3EI. Sejak menjabat Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah berhasil menunjukkan kemajuan yang siginifikan di bidang ekonomi, baik makro maupun mikro. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2009, pendapatan masyarakat Banten RTP 12.619.664,00 pertahun. Demikian juga di tahun 2010. Dengan berbagai upaya di bidang ekonomi dan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), pendapatan per kapita masyarakat Banten melesat minimal Rp 16.020.753,00 pada tahun 2010. Naiknya pendapatan per kapita masyarakat Banten itu sangat dirasakan terutama oleh kaum buruh. Pasalnya, dengan pendapatan yang meningkat, para buruh dapat bekerja dengan tenang sehingga bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kendati belum mencapai 100 persen. Itu terjadi khususnya di tiga wilayah Tangerang. Peningkatan pendapatan itu tidak terlepas dari peran Ratu Atut yang berani merevisi upah minimum kabupaten/kota di Tangerang kendati mendapat tantangan dari sejumlah pengusaha. Sebelumnya, UMR di Kabupaten Tangerang hanya Rp 1.43.000. Setelah direvisi, UMR di Kabupaten berubah menjadi 1.285.000. Di Kota Tangerang, dari sebelumnya Rp 1.250.000 menjadi 1.290.000. Sedangkan di Kota Tangerang Selatan dari sebelumnya 1.245.000 menjadi 1.290.000. Menurut BPS, UMR buruh di Provinsi Banten rata-rata sudah 98,5 persen dari KHL bagi pekerja di wilayah ini. Revisi UMK di tiga wilayah di Tangerang tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Banten No 561.Kep.782-Huk/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang perubahan atas SK No 561/kep.678-Huk/2010 tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tahun 2011. SK Gubernur Banten No 561.Kep.783-Huk/2010 tanggal 28 Desember 2010 perubahan atas SK Gubernur Banten No 561/kep.679-Huk/2010 tentang UMK Kota Tangerang dan SK No 561.Kep.784-Huk/2010 tanggal 29 Desember 2010 perubahan atas SK No 561/kep.680-Huk/2010 tentang UMK Kota Tangerang Selatan. Kebijakan yang dilahirkan oleh Ratu Atut di atas memanifestasikan idealitas demokrasi yang meniscayakan adanya partisipasi publik, sehingga kebijakannya tidak kontra-produktif dengan aspirasi dan kepentingan rakyat Banten. Sebagai seorang pemimpin, tak dapat dipungkiri, Ratu Atut kerap mendapatkan kritik dari masyarakat. Namun kritik itu tetap ditanggapinya dengan bijaksana dan egaliter. Seperti pada 6 Januari 2007, tercatat bahwa Gubernur Ratu Atut Chosiyah menampung aspirasi dengan penuh tanggung jawab terhadap para demonstran yang berasal dari kalangan buruh. Memang, sudah semestinya seorang pemimpin turun secara langsung menemui rakyatnya dalam melakukan kritik maupun aksi demonstrasi. Karena dengan begitu, perjalanan pembangunan akan selalu dinamis dan pro-rakyat. Kini, kalangan buruh di Banten sudah bisa menikmati hidup dengan tenang karena mendapat jaminan baik ekonomi, kesehatan, keselamatan dan sebagainya. Bahkan Banten mendapatkan penghargaan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) karena dinilai berhasil melindungi dan membina tenaga kerja dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H