Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 membatalkan beberapa pasal yang terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berikut amar putusannya:
AMAR PUTUSAN,
Mengadili
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak mempunyai kekuatan mengikat;
- Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambatlambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan;
- Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Adapun yang menjadi salah satu pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi yaitu pemberian HP-3 melanggar
prinsip demokrasi ekonomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan. Prinsip kebersamaan harus dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan ekonomi termasuk pengelolaan sumber daya alam bagi keuntungan ekonomi, harus melibatkan rakyat seluas-luasnya dan menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat banyak. Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh semata-mata memperhatikan prinsip efisiensi untuk memperoleh hasil sebanyakbanyaknya yang dapat menguntungkan kelompok kecil pemilik modal, tetapi harus
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan HP-3 sebagaimana telah diuraikan di atas, akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP-3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. Dalam kondisi yang demikian, negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan keadilan kepada rakyat. Lebih dari itu, menurut Mahkamah, pemberian HP-3 akan melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Terkait dengan HP-3 tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan solusi yaitu melalui mekanisme perizinan. Untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui
mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tentu akan menimbulkan akibat hukum dan menimbulkan dampak yang luas terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat. Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang selama ini telah dilakukan dengan memanfaatkan perairan pesisir?
Dan yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah untuk melakukan kegiatan usaha di perairan pesisir cukup dilakukan dengan adanya izin dari pemerintah tanpa dilandasi suatu alas hak terhadap periaran pesisir tersebut?
Kalau kita bandingkan dengan rezim yang berlaku di tanah, maka kita akan mengenal adanya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai sebagai suatu alas hak yang mendasari orang untuk memanfaatkan tanah tersebut. Setelah adanya alas hak, untuk melakukan suatu kegiatan orang masih harus mengurus izin sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan tersebut dan pemerintah dalam memberikan izin juga akan melihat kesesuaian dengan RTRW. Misalnya untuk mendirikan bangunan maka orang harus mengurus izin mendirikan bangunan.
Analognya, setelah mempunyai HP-3 sebagai alas hak, untuk melakukan kegiatan juga harus ada izin. Misalnya ketika akan melakukan budidaya ikan harus mengajukan Surat Izin Usaha Perikanan dan pemerintah/pemerintah daerah dalam memberikan izin tentu harus melihat kesesuaian dengan rencana yang telah dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H