Mohon tunggu...
Ferrial Pondrafi
Ferrial Pondrafi Mohon Tunggu... -

penggemar musik sejak kecil

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mylo Xyloto: Eksistensi Coldplay Menghadapi Perkembangan Era Digital

13 Maret 2012   09:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sepertinya kurang afdol jika tahun 2011 ini dilewatkan begitu saja tanpa mereview album milik Coldplay, Mylo Xyloto. Boleh dibilang, inilah salah satu album yang paling ditunggu-tunggu oleh para pencinta musik, penikmat musik, dan tentu saja penggemar Coldplay itu sendiri. Dirilis tanggal 24 October tahun 2011 kemarin, Mylo Xyloto menawarkan 14 lagu yang berdurasi sekitar 44 menit. Jumlah yang lumayan banyak untuk ukuran sebuah album britpop. Mungkin ini adalah satu cara bagi Coldplay untuk memuaskan para penggemarnya, yaitu dengan memberikan sebanyak mungkin lagu dalam 1 album. Namun bukan berarti, banyaknya lagu menjamin kualitas album itu sendiri. Karena tetap saja, kualitas album ditentukan oleh keseluruhan materi yang ditawarkan dalam album tersebut. Saya memang penggemar musik Coldplay sejak era Parachutes (2000), A Rush of Blood to the Head (2002), hingga X&Y (2005). Namun di album setelahnya Viva la Vida or Death and All His Friends (2008) saya tidak lagi menjadi penggemar berat musik mereka. Bukan berarti saya tidak suka dengan lagu-lagu milik Coldplay, hanya saja di era itu saya telah bergeser ke ranah non-mainstream (tanpa meninggalkan Coldplay sama sekali tentu saja). Saat Coldplay meluncurkan album terbaru, saya pun menjadi penasaran seperti apakah isi dari album Mylo Xyloto ini. Album dibuka dengan lagu berjudul sama, Mylo Xyloto. sebuah prolog ambient instrumental yang berdurasi kurang dari 1 menit. Prolog yang cantik memang, mengingatkan akan Life in Technicolor; prolog di album sebelumnya. Lagu kedua digebrak dengan Hurts Like Heaven, sebuah lagu ceria yang dilatari musik synthesizer. Bisa dibilang, lagu kedua ini menjadi petunjuk bagi pendengarnya akan terdengar seperti apa keseluruhan isi dari album ini. Dan ternyata memang benar, hampir sebagian besar lagu di album ini didominasi oleh lagu yang 'happy' dan suara synthesizer ketimbang guitar akustik/electric sebagai pengiringnya. Jangan terlalu berharap mendengar lagu layaknya In My Place dari album kedua, atau Shiver dari album pertama. Jangan mengharap pula mendengar lagu balada anthemic layaknya Fix You dari album ketiga, atau jangan pula sekali-sekali mengharapkan lagu seperti Yellow dari album pertama. Masa itu telah berlalu, dan sekarang adalah masa Coldplay terbaru. Meskipun ada lagu yang masih setia dengan dominasi suara gitar akustik (seperti Us Against The World dan U.F.O), namun jumlanya pun tidak lebih banyak dari musik yang terdigitalisasi. Memang era serba digital (atau mungkin lebih spesifik saya sebut era post-myspace) seperti sekarang ini menawarkan banyak sekali musik dan artis yang telah  terdigitalisasi. Bahkan artis tersebut tidak berasal hanya dari genre elektronik saja, melainkan dari berbagai genre. Mulai dari pop (Owl City, Ke$ha), akustik (Nevershoutnever!), hingga yang penuh distorsi dan teriakan seperti post-hardcore (A Day to Remember). Dan sepertinya Coldplay telah mengikuti perkembangan jaman dengan sangat baik. Elemen elektronik teraplikasikan dengan pas di album ini. Mungkin jika ada yang namanya genre 'electronic britpop', maka seperti inilah jadinya. Penggemar musik Coldplay pasti akan merasa sedikit aneh dengan suara-suara elektronik tersebut. Mereka setidaknya harus beradaptasi terlebih dahulu sebelum dapat menikmati album Mylo Xyloto dengan santai. Mylo Xyloto memang salah satu album terbaik tahun ini, namun sayangnya bukan album terbaik bagi Coldplay itu sendiri. Malah saya menganggap Mylo Xyloto adalah album terburuk mereka selama ini. Namun meskipun begitu, musik yang mereka bawakan di album ini tetaplah menyenangkan. Hanya saja ciri musik Coldplay mulai menghilang entah ke mana. Mungkin inilah salah satu cara Coldplay untuk menciptakan image yang baru. Image yang lebih segar, lebih muda, dan mampu beradaptasi dengan jaman. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Coldplay pun  berduet dengan salah satu ikon musik RnB Rihanna (dalam lagu Princess of China). Dan disebutkan pula, dalam lagu yang sama terdapat sedikit sample milik Sigur Rós yang berjudul Takk. Konspirasi apa ini? Apakah ini semacam pertanda akan datangnya sesuatu yang besar tahun 2012 besok? Jika memang iya, semoga saja itu adalah pertanda yang sangat-sangat baik dan menyenangkan. Perpaduan RnB dengan Britpop tersebut tentu saja merombak habis musik Coldplay menjadi bergaya sedikit RnB. Entah apa yang mereka pikirkan, namun hal tersebut sepertinya mengindikasikan bahwa mereka mencoba untuk menggaet lebih banyak penggemar. Terutama penggemar baru yang berasal dari genre pop RnB dan penggemar yang berusia belasan tahun atau ABG. Para penggemar baru tersebut akan merasa bahwa Coldplay pun memihak mereka, dengan musiknya yang sesuai jaman mereka tentu saja. Dan sepertinya kesuksesan langkah Coldplay dalam menggaet penggemar juga bisa disaksikan saat mereka (jadi) mengadakan konser perdana di Indonesia tahun 2012 besok. Akankah venue dibanjiri anak-anak yang masih berstatus ABG (terlepas apakah mereka sedang galau atau tidak)? kemunginan besar iya.

Ferrial Pondrafi 27 Desember 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun