Mahasiswa acap-kali disebut sebagai Agent of Change. Mahasiswa selalu ingin menaruhkan namanya dengan tinta dalam catatan sejarah kemajuan bangsa Indonesia. Namun, sekitar satu dekade ke belakang, paradigma tentang ‘mahasiswa’ menjadi demikian konkrit sekaligus demikian abstrak. Konkrit, dimana ia sering muncul di hadapan media selaku politisi, untuk menyambung lidah rakyat. Abstrak, karena ia selalu menjadi perdebatan khalayak ramai (bahkan di kalangan mahasiswa itu sendiri), di mana sebagian daripada mereka hanya memilih untuk menjadi akademisi yang santun tanpa harus ikut berpolitik.
Menghadapi budaya kontemporer (kekinian), memang tidak semudah mengeluarkan slogan-slogan seperti apa yang selalu kita temui di jalan-jalan. Untuk mahasiswa, budaya kontemporer secara sadar maupun tidak sadar telah atau bahkan akan terus mempengaruhi ideologi tentang kemahasiswaan itu sendiri. Dunia seperti tengah terperangah dengan ‘Revolusi Informasi’.Sosial media di Internet, dan media televisi yang kini menjadi sangat populer adalah dua dari sekian banyaknya produk kebudayaan di zaman kontemporer ini.
Dengan perihal di atas, mahasiswa sebagai akademisi atau Freelance Intelligentsia, nampaknya tidak lagi terintegrasi seperti di zaman menuju reformasi atau di zaman Orde Lama pada saat memperjuangkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada dasarnya, perguruan tinggi memiliki Tri Dharma yang sesungguhnya menjadi tolak ukur di setiap pergerakan kemahasiswaan. Tri Dharma tersebut berisi, Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian ke Masyakarat.
Untuk menelisik keberperanan mahasiswa kontemporer di dalam menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi, saya membagi mahasiswa menjadi ke dalam dua golongan inti. Yaitu golongan Aktivis dan golongon Akademisi. Di golongan pertama; Aktivis, saya membaginya lagi ke dalam dua sub-golongan, yaitu Aktivis Murni dan Aktivis Berpihak. Golongan Aktivis adalah mahasiswa yang tergolong aktif di dalam menjalankan ihwal Tri Dharma yang ketiga; Pengabdian ke Masyarakat. Baik itu melalui kaderisasi organisasi intra kampus mau pun organisasi ekstra kampus. Biasanya, golongan Aktivis ini kerap kali mengadakan aksi atau demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah. Aktivis Murni ialah mahasiswa yang bergerak murni demi kepentingan rakyat. Sedangkan Aktivis Berpihak ialah mahasiswa yang bergerak demi kepentingan pribadi atau pun kelompok. Karena tidak bisa dipungkiri, di zaman demokrasi, partai politik selalu menjadikan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk mereka ‘tunggangi’. Itu semua dilakukan demi kelancaran kepentingan kelompok itu sendiri. Kelemahan dari golongan Aktivis Murni mau pun Aktivis Berpihak di era demokrasi ini ialah tidak terlalu memperhatikan pendidikan mereka, oleh karena terlalu fokus kepada pengabdian ke masyarakat. Maka tidak jarang di kalangan golongan Aktivis yang nilai akademiknya amburadul.
Sedangkan golongan yang kedua; Akademisi, saya membaginya ke dalam tiga sub-golongan. Yaitu Akademisi Natural, Akademisi Transenden, dan Akademisi Hedonis. Akademisi Natural ialah mahasiswa yang secara intensif menerima ilmu di dalam perkuliahan namun tidak begitu aktif di dalam pengembangan ilmu dan pendidikannya. Biasanya, proyeksi Akademisi Natural tidak serumit proyeksi golongan Aktivis. Akademisi Natural hanya berharap kepada IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang baik, serta lulus tepat waktu sebagai seorang sarjana. Tak jarang kita temui Akademisi Natural yang berperilaku santun dan patuh terhadap setiap kebijakan pejabat kampus atau pun pemerintah. Itu semua terjadi oleh karena kekurang-pekaan mereka terhadap isu publik atau pun kelemahan daya olahrasa dan daya empatinya. Akademisi Transenden ialah mahasiswa yang tidak memiliki proyeksi dan tujuan yang jelas di dalam pendidikannya. Golongan ini hanya bergerak mengikuti arah angin dan tidak memilih untuk menjadi pohon oak seperti prinsip golongan Aktivis (yang berusaha melawan arah angin). Sedangkan golongan Akademisi Hedonis ialah mahasiswa yang terhanyut di dalam jebakan pasar bebas. Golongan ini biasanya tidak terlalu mementingkan ihwal Tri Dharma, akan tetapi sangat memperhatikan kepentingan pribadinya dalam hal penampilan (fashion). Akademisi Hedonis lebih memilih untuk berfoya-foya di setiap kesempatan yang ada dibanding ikut berdemonstrasi di jalan raya.
Tulisan ini tidak akan berbicara tentang golongan yang paling sempurna. Akan tetapi, kita akan menarik benang merah terhadap setiap golongan yang terurai di atas. Bahwa peran mahasiswa yang demikian abstrak tersebut telah terjawab secara ringkas. Kini, tinggal kita sepakati akan peran mahasiswa yang semakin kontradiktif di tengah-tengah perkembangan budaya kontemporer. Ia akan semakin terlihat kontrakdiktif jika dilirik dari sudut pandang politik dan akademik.
Sepertinya, ada rantai yang terputus di ketiga ihwal Tri Dharma perguruan tinggi. Mahasiswa belum memahami secara baik akan sistematika Tri Dharma itu sendiri. Jadi, hemat saya, mahasiswa hendaknya kritis sekaligus bertanggung-jawab terhadap pendidikan di Indonesia. Ia juga diharapkan mengembangkan pendidikan dalam bentuk penelitian ilmiah. Serta mengaplikasikannya demi kepentingan khalayak. Apabila rantai ihwal Tri Dharma ini ada yang terputus, maka mahasiswa kontemporer ini tinggal memilih golongan atau sub-golongan yang tertera di bahasan sebelumnya. Dengan begitu, mahasiswa akan terjebak di dalam eksistensi tanpa esensi.
Karena yang jelas, pendidikan diselenggarakan bukanlah sebagai tuntutan pekerjaan semata. Atau pun sebagai pengisi kekosongan waktu di peliknya dunia urban. Ki Hadjar Dewantara pernah berujar, pendidikan di Indonesia dibuat sedemikian rupa sebagai ‘Media Penyadaran’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H