Mohon tunggu...
Abahna Si Leungli
Abahna Si Leungli Mohon Tunggu... profesional -

Mizuki Nana fans, Nyunda, Jurnalis nanggung -lebih senang ngedit daripada ke lapangan. Tengah merampungkan buku Filsafat tentang Iblis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

New-interview Sebentuk Interferensi dan “Deep Impact”?

26 November 2009   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Bagaimana bisa...

David Frost mampu menelanjangi Richard Nixon atas penyalahgunaan kekuasaannya dalam sekedar wawancara, di mana para jurnalis investigator, jaksa, bahkan presiden terpilih Gerard Ford tidak mampu melakukannya?

Bagaimana mungkin hanya dari sekedar bertanya seorang Ibu Rumah Tangga bermarga Winfrey menjadi wanita terkaya dan berpengaruh di Amerika Serikat?

Wawancara bukan lagi “?” tapi “!”

Berapa banyak orang penting diwawancara di negara ini, dan berapa banyak diantaranya menghasilkan sesuatu yang tidak biasa. ‘odd’? Wawancara itu ibarat membuka tutup botol. Semakin tua semakin berkarat, susah untuk dibuka. Itu dari sisi tutup saja. Semakin tua botol itu isinya pun sudah tak pasti lagi, baunya bisa jadi semakin wangi seperti durian yang disembunyikan tetangga, atau singit dan bikin sebal. Di Negara ini, bagi penulis sama sekali tak ada tutup botol yang terbuka. Jurnalis dan narasumber, sekedar berkata-kata, saling sapa gimana kabar di rumah? barusan makan apa...? bla..bla..bla...

Bagi seorang ‘ingusan’ kawakan macam Inke Maris berhadapan dengan Henry Kissinger dalam konteks wawancara negara besar vs dunia ketiga. Hasilnya hanya puja-puji, lihat “Anda pun mampu membuka tutup botolnya” begitu kiranya pikir Kissinger. Pernah pula diujikan semacam format Perspektif SCTV di saat mulut orang ramai bungkam rapat, Wimar Witoelar bikin mereka berbunyi, botol terbuka dan hanya sampai di situ.

Padahal haram jadah seorang jurnalis terletak di tajam pena-nya. Cara dia menulis isi dan memberikan pehamaman jitu bagi pembaca, adalah jurnalisme itu sendiri. Namun dihadapkan dengan narasumber, tiba-tiba para jurnalis itu menjadi begal semua. Mengantri di loket humas, tandatangan dan bertanya seputar kejadian semata. Beberapa orang mafhum barangkali para jurnalis telah ‘tersegmentasi’ bahasa kasarnya dompetnya dititip Istri –kalau mau pulang jangan sampai bekas gincu nempel sesentipun, bisa sial dia seperti Muchtar Lubis.

Siapa Muchtar Lubis? Dia jurnalis yang mewawancari dengan tanda seru. Dan tak pernah tanda tanya. Karena semua bukti sudah jelas ini mengarah ke mana, maka untuk apalagi berbasa-basi dengan narasumber yang sejatinya bukan siapa-siapa karena dia menjabat sesuatu yang bisa kita dapatkan pula? Hariannya Indonesia Raya dua kali dibredel, di dua rezim Orla dan Orba. Itu tidak penting, tapi mengajarkan sesuatu bahwa wawancara di Indonesia masih dalam kapasitas sebagai bunyi, bukan interferensi.

Interferensi

Itu sebentuk gelombang, yang memotong gelombang lain dan menghasilkan pola gelombang baru. Fungsinya bukan penelanjangan lagi, tapi sebentuk solusi. Itu yang dilakukan Aronowitz, mempertemukan dua manusia biasa John Lennon dan Bob Dylan, untuk menjadikannya ‘luar biasa’. John Lennon diasumsikan sebelumnya hanyalah rocker muda yang tak istimewa. Pun Dylan. Namun Aronowitz mengenalkan keduanya berikut dengan mariyuananya. Berfusi, dan menghasilkan solusi bagi masa depan yang gila. Interferensi a’la Aronowitz dikenal sebagai Rock Journalism, itu hanya sebutan yang hampir banal dan mengecewakan. Namun istilah itupun barangkali benar, jika yang dimaksud jurnalisme adalah semacam: semangat, spirit. Wartawan dengan tugasnya meliput berita, telah menukangi proses pemberitaan dan menjadikannya edun, hanya karena dia memiliki visi. Bukan lagi dimuat atau tidak dimuat (terlalu miskin njink!). Menulis sebagai jurnalis pada akhirnya hanya bentuk tanda. Tidak menulis, namun melakukan interferensi dalam hidup orang banyak, maka Anda telah berlaku seperti seorang Jurnalis. Penanya adalah kata. Kanvasnya adalah jiwa. (oke hentikan bahasa puitis ini sebelum nanti berubah jadi mesum).

Apapun yang Dilakukan Aronowitz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun