Kancah perpolitikan pada tahun 2024 di Indonesia sangatlah dinamis dan penuh dengan dinamika, dimulai dari pemilihan presiden dan menjelang pemilihan kepala daerah secara serentak. Pengusaha media cetak dibanjiri order baliho, pamflet, kartu nama, spanduk dan lain-lain yang bermuatan ajakan untuk memilih dengan slogan-sloga manis untuk meyakinkan pemilihnya.Â
Munculnya nama-nama baru dalam peta perpolitikan kepala daerah dapat diartikan sebagai sebuah demokrasi yang sehat dimana dibukanya peluang untuk wajah-wajah baru untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah.
Dibukanya kesempatan itu membuka ruang kritik terhadap kepala daerah sebelumnya yang ikut berkontestasi, banyak kritik-kritik yang dilontarkan kandidat-kandidat baru kepada petahana yang dinilai telah gagal dalam memimpin daerahnya pada periode sebelumnya.Â
Tak jaran kandidat-kandidat baru tersebut menyerang dengan kritik secara personal keluarga petahana dan mengulik gaya hidup petahana dan keluarga. Dan beberapa serangan itu terbukti manjur membangkitkan amarah dan emosional petahana yang berakhir sentimen negatif pada petahana.Â
Disisi lain kandidat baru pun saling menyerang, yang uniknya adalah menyerang dalam wacana, dimana kandidat-kandidat baru ini masih dalam tahap perencanaan dan belum eksekusi sehingga kandidat-kandidat baru hanya diserang dalam gagasan rencana bukan eksekusi dengan kata lain rencana mereka masih diawang-awang dan belum dapat dipastikan eksekusinya.
 Tapi menariknya tak jarang kandidat-kandidat baru ini melampirkan rekam jejaknya.Â
Tampilan tersebut dapat berupa sebuah kesuksesan secara ekonomi sehingga sentimen positif muncul jika terpilih tidak akan korupsi, disisi lain tampilah yang berangkat dari bawah dengan mengenakan seragam ojek online, yang menyatakan pernah menjadi pengemudi ojek online untuk menampung simpati bahwa kandidat berangkat dari bawah maka mengetahui beban yang dirasakan oleh kaum lemah maka program-programnya akan tepat sasaran.
Kampanye-kampanye yang dilakukan sepanjang itu membahas rencana kerja untuk menggait pemilih adalah sesuatu yang biasa namun ketika cara-cara kampanye yang dilakukan dengan menyerang kandidat lain dengan kritik personal baik kepada kandidat maupun keluarganya akan menimpulkan riak-riak kecil yang akan membesar dan pada ujungnya menimbulkan kelompok-kelompok yang sakit hati dan tak jarang menimbulkan permusuhan.Â
Jika kau membunuh lawan politikmu maka kamu sedang melahirkan pembunuh-pembunuh lain yang memiliki doktrin permusuhan politik.
Sebagai salah satu demokrasi terbesar didunia, Indonesia tentu sudah memiliki batasan-batasan dalam hal diksi dan aturan berkampanye tetapi tidak jarang aturan itu dilanggar dengan dalih itu bukan dilakukan kandidat namun para pendukungnya sehingga kandidat tidak memiliki tanggung jawab hukum atas pelanggaran itu.
Sebaik-baiknya politisi itu bukanlah soal pengaruh dan kekuasaan namun adalah kebermanfaatan. Seranglah lawan politikmu dengan gagasan dan rangkullah dia dalam kebersamaan tujuan untuk membangun Bangsa sehingga tercipta kebaikan bersama semua golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H