Nama gerejanya Happy Family Center. Aku bahkan baru tau ada nama gereja seperti ini. Taunya gereja Bethel, Mawar Sharon, dan sejenisnya. Melalui web resminya, hfc.id, aku tahu bahwa gereja ini awalnya merupakan sebuah Persekutuan Doa bernama Surabaya Celebration Center (SCC) yang bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya. Menurut web tersebut, komunitas ini berjalan selama kurang lebih 18 bulan sebelum  Pastor HL "mendapatkan konfirmasi dari Tuhan untuk merintis sebuah gereja."
Saat membaca berita yang beredar, tadinya kukira Pendeta HL ini adalah 'salah satu' pendeta biasa. Setelah membuka laman resmi gerejanya, ternyata beliau adalah 'pelopor' dan pemimpin tertinggi gereja ini. Kalau dalam gereja Katolik, mungkin beliau adalah Paus-nya.
Well, mengapa saya merasa perlu mengorek sedikit tentang sejarah gereja ini?
Saya ingin menyoroti betapa mudahnya seseorang atau sekelompok orang mendirikan sebuah gereja baru. Apa urgensinya? Untuk apa kita mendirikan gereja baru jika nilai-nilai yang dipegang juga sama dengan gereja kristen lainnya?
Setelah memeriksa beberapa fakta, saya juga menemukan bahwa Gereja HFC ini tidak terdaftar sebagai anggota PGI. Padahal, menurut informasi di laman mereka, gereja ini sudah memiliki lebih dari 3000 jemaat. Lalu, siapa yang akan menjadi pengawas jika terjadi 'sesuatu' dengan gereja ini?
Saya tidak bisa membayangkan kegemparan yang terjadi dalam tubuh Gereja HFC ini setelah mengetahui bahwa Gembala Sidang mereka tersangkut kasus pencabulan. Mustahil jika mereka tidak mempertanyakan status mereka dalam gereja tersebut.Â
Seandainya kasus pencabulan ini dialami oleh pendeta gereja HKBP atau pastor Katolik (yang kasusnya juga memang tidak sedikit), para jemaat mungkin masih bisa kalem karena mereka masih punya pegangan karena ada ribuan pendeta atau pastor lain yang bisa menjadi role model, contoh yang baik. Bukan berarti kasusnya bisa menjadi 'lebih dimaklumi', ya, tapi saya berbicara tentang beban mental yang dialami oleh para jemaat. Siapa yang menjadi pegangan mereka?
Saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang profil Pendeta HL ini, tapi di web resmi gereja hanya ada profil istrinya. Mungkin profil pendeta tersebut sudah 'ditarik' karena kasus ini. Padahal saya ingin tahu apakah Pendeta ini memiliki latar belakang pendidikan di bidang Teologi (atau sejenisnya) sehingga cukup pantas untuk menyebut diri sebagai 'Pastor' atau 'Gembala Sidang' atau 'Pendeta' atau istilah apa pun itu. Karena istrinya juga berstatus Gembala Sidang padahal latar belakang pendidikannya adalah S-1 dalam Sastra Inggris (1986) dan Bahasa Jerman (1987) (sumber: agnes.id - web resmi AM, istri Pendeta HL).Â
Saya rasa, pendidikan filsafat dan teologi merupakan sesuatu yang "wajib" dikenyam oleh seorang pendeta. Jika tidak, apa yang akan dia pakai untuk menuntun jemaatnya? Nubuat? Penampakan Tuhan? Memangnya dia siapa? Orang kudus dari zaman Yesus? Bagaimana mungkin seseorang yang tidak paham teologi bisa menjadi pendeta? Itu jemaatnya yang BODOH atau pendetanya yang kelewat berkarisma?
Aktivis kemanusiaan dari Paritas Institute yang fokus dengan isu gereja, Woro Wahyuningtyas, mengungkapkan, berkaca dari kasus HL, terdapat setidaknya dua alasan mengapa pelecehan seksual antara pendeta dengan jemaatnya berulang kali terjadi. Pertama, kata Woro, disebabkan oleh mudahnya seseorang menjadi pendeta di beberapa aliran dalam agama protestan sehingga kualifikasi seorang pendeta menjadi kurang memadai. [Kompas.com]
"Ada beberapa sekolah teologi yang hanya satu tahun atau bahkan kurang, seseorang sudah menyandang gelar pendeta yang kemudian punya kekuasaan terhadap jemaat-jemaatnya, padahal belum memiliki kualifikasi cukup sebagai pendeta," kata Woro. [Kompas.com]