Tidak ada yang tahu persis bagaimana semuanya berakhir, tetapi kita tahu apa yang terjadi setelahnya. Pada tanggal 26 April 1984, tubuh Arnold Ap ditemukan penuh dengan peluru dan luka tusuk di sebuah pantai dekat Jayapura. Dia telah ditahan secara misterius selama empat bulan. Keluarganya bersembunyi, teman-temannya dipaksa diam atau diasingkan dan warisannya hilang dalam kobaran api.
Kejahatannya? Menyanyi dan melestarikan budaya bangsanya.
Kini, hampir empat dasawarsa setelah pembunuhan kontroversialnya, salah satu tokoh budaya terpenting Papua mulai dikenal masyarakat luas.
"Pada masanya, dia adalah seorang kurator dan seniman yang inovatif," kata Ayos Purwoaji, seorang kurator dan peneliti. "Dia bergerak melampaui batas museum, yang tidak biasa bagi
orang-orang sesamannya."
Melalui karyanya sebagai antropolog, kurator dan pemimpin band di grup Mambesak yang sangat populer, Arnold Ap merayakan budaya Papua pada saat ekspresi kebanggaan adat seperti itu dapat menyebabkan penangkapan, intimidasi, dan kematian. Karirnya yang pendek namun bertingkat ditandai oleh ketekunan, taktik budaya yang tidak biasa tetapi efektif dan, di atas segalanya, cinta yang tak terbatas untuk tanah dan rakyatnya.
Namun, tak lama kemudian, kisahnya berubah menjadi salah satu tragedi, kekerasan, dan pengasingan.
Merayakan identitas Papua.
Setelah operasi militer yang penuh kekerasan dan diperebutkan, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Sukarno menguasai Papua Barat dari kekuasaan Belanda pada Mei 1963.
Aktivis HAM Carmel Budiardjo menulis pada 2008 bahwa tidak lama setelah penyitaan, sebuah "api unggun besar" didirikan di alun-alun Jayapura. Simbol kehidupan Papua, termasuk artefak budaya dan bendera Papua, dibuang ke dalam neraka, sementara lebih dari sepuluh ribu orang Papua dibawa dari lembah untuk menyaksikan upacara pembakaran "identitas kolonial mereka".