Sambil bersantai dan menyantap makanan ringan, saya melihat ada perdebatan sehat di sebuah blog. Perdebatan itu membahas mengenai biaya hidup di Indonesia dibandingkan dengan di luar negeri, dimana sang penulis mengutarakan keprihatinannya atas mahalnya biaya hidup di Jakarta, bahkan dibandingkan dengan salah satu kota besar di Amerika. Opini itu kemudian ditepis keras oleh salah satu guest yang mencantumkan signature sebagai “Pemikir Kritis”. Wow. Disitu, sang guest berargumen: "Ini data dari mana? Dengan pengambilan cara seperti apa?" Kalau dlihat dari sisi keilmuan ini masih ‘ngaco’…”
Wah wah, terdengar sangat pamungkas sekali hantaman-hantaman keilmuannya. Namun, menurut saya kalimat seperti itulah yang membuat bangsa Indonesia selalu terlambat. Yap, tetap di belakang.
Iya, data pendukung dan landasan teori itu memang perlu. Namun, pemikiran yang “mendewakan” teori dan data itulah yang terkadang menjebak dan membutakan esensi dari bagaimana kita mengembangkan pemikiran sebebas, seluas, dan setinggi-tingginya.
Ironisnya, itulah potret pendidikan -khususnya pendidikan tingkat tinggi saat ini di Indonesia, yang masih menganggap remeh pendapat dan gagasan seseorang jika tidak berdasarkan landasan teori dan data yang akurat. Semua pemikiran harus dikaji dan melalui filter penelitian yang sedemikian ribet, sehingga baru bisa dikatakan 'absah'. Dan terlebih, baru mau didengarkan. Sebelum ada bumbu-bumbu dasar sakti tersebut, pemikiran dan gagasan seseorang biasa ditanggapi: “ngawur aja sampeyan, atas landasan apa tuh? Kalo masih cuma asas kira-kira itu ya gak usah ngomong”.
Padahal, dalam berpendapat individu pasti punya pertimbangan tertentu, yang menurut saya 'praktek dan pengalaman' memiliki value lebih dibanding pemikiran yang hanya berlandasakan data, teori dan tetek bengek akademis lainnya. Dan apa akibatnya ketika budaya tersebut sudah berakar kuat pada masyarakat kita?
Akhirnya, ketika orang luar negeri membuat gagasan baru dan mendapat dukungan dari pihak-pihak lainnya, kemudian bisa mengkaji dan akhirnya menemukan invensi atau teori baru. Namun di Indonesia, orang-orang “super pintar” dan “kritis” masih hanya "me-ngawur-i" pemikiran-pemikiran dan gagasan lainnya sampai ada teori baru yang bisa mendukung pemikiran tersebut. Pertanyaannya: Loh, kalau cuma menunggu ada teori baru, kapan bangsa ini mau bikin teori barunya dong? Baru mengutarakan saja sudah ditepis mentah-mentah…
Sedikit cerita, bahwa penemu Drake equation (argument yang memperkirakan jumlah peradaban di galaksi Bima Sakti) juga awalnya hanya berlandaskan asas kira-kira saja, atau mungkin kalau bahasanya mau dikerenkan sedikit: probabilitias. Tapi apa dampaknya, pemikiran radikal dan revolusioner itu akhirnya yang melandasi dan mempelopori orang-orang saat ini untuk marak menjelajah luar angkasa dan mencari tahu lebih hal di luar sana.
Disini, saya ingin menyampaikan bahwa orang-orang Indonesia itu sangatlah pintar, yang bahkan menurut saya lebih cerdas dibandingkan dengan orang-orang barat sekalipun. Namun, terkadang orang-orang “super pintar” dan “kritis” itu sendirilah yang tidak bisa menghargai orang lain dan termakan egonya sendiri -yang mungkin dikarenakan merasa mereka sudah khatam semua teori-teori yang ada. Dan pada akhirnya, mereka sendirilah yang "membuat bodoh" bangsa dan rakyatnya sendiri.
Semoga dari sini kita bisa berkaca dan mulai memperbaiki paradigma ini, yang tentunya dimulai dari diri kita sendiri. Saya berharapan semoga kedepannya kita bisa memiliki budaya yang mendukung pemikiran dan gagasan masyarakat kita yang cerdas, sehingga bangsa kita kedepannya bisa kaya dengan pemikiran, teori, dan gagasan-gagasan yang inovatif.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H