Oleh : Fernanda Arif Syahputra_S20191137_HK4
Pernikahan ialah suatu momentum yang sangat bersejarah bagi sebagian besar orang, karena pada saat itu ia telah resmi menyandang status baru yakni sebagai sepasang suami istri. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengertian perkawinan tersebut sebagaimana termuat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Di Indonesia sendiri, pernikahan harus resmi baik itu secara agama maupun secara negara. Namun ada beberapa orang yang hanya melaksanakan suatu pernikahan hanya secara agama atau biasa dikenal ditengah masyarakat yakni sebagai nikah siri. Nikah siri ialah sebuah bentuk pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan hukum agama, namun tidak diberitakan atau disampaikan dan dicatatkan kepada pihak Kantor Urusan Agama (KUA) . Dengan istilah lain , suatu pernikahan yang sah secara agama,namun tidak sah dimata hukum.
Namun belakangan ini ada hal yang menyita perhatian publik mengenai nikah siri ini. Bukan mengenai pro kontra nikah siri yang masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat, Namun mengenai pernikahan siri yang kini bisa dicatatkan atau di muat di Kartu Keluarga (KK). Mengenai pernikahan siri yang dapat ditulis di dalam Kartu Keluarga (KK) menimbulkan sebuah polemik dikarenakan adanya Peraturan Mendagri No.9 Tahun 2016 Megenai Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.
Hal sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 huruf (i) mengenai pencatatan akta kelahiran yang berbunyi bahwa : "Formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan tetapi status hubungan dalam keluarga pada KK menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri". Serta pasal 31 huruf (j) yang berbunyi bahwa : "formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan dan status hubungan dalam keluarga pada KK tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri". Serta persyaratan pembuatan akta kelahiran pada anak yang hanya Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran sebagai pasangan suami istri.
Meski tidak tertera secara jelas, Kalimat " Perkawinan yang belum tercatat" dalam hal ini memiliki dampak yang tidak biasa, terlebih lagi dalam pembuatan akta kelahiran anak yang hanya menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran sebagai pasangan suami istri,yang nantinya dalam KK akan ditulis nikah belum tercatat. Meski dalam hal ini, merupakan suatu hal yang tujuannya baik yakni agar semua penduduk dapat tercatat ke dalam Kartu Keluarga. Namun hal ini dianggap memiliki dampak yang tidak baik .
Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku." yang mana mengharuskan setiap perkawinan haruslah dicatatkan. Serta Pasal 5 dalam Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : "(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954."
Akibatnya yang terjadi nantinya adalah dikhawatirkan semakin banyaknya pernikahan yang dilangsungkan dibawah tangan atau pernikahan siri ditengah masyarakat. Serta tidak dilakukannya pencatatan perkawinan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Sejatinya Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinannya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.
Selain itu, dampak yang akan timbul jika pernikahan dilakukan dibawah tangan atau nikah siri ini semakin meluas, ialah tidak adanya kepastian hukum bagi istri ataupun anak jika terjadi suatu hal dalam perkawinan tersebut. Maka semangat untuk menyuarakan pentingnya pencatatan perkawinan harus terus di gaungkan. Untuk tetap menjamin hak-hak dan kepastian hukum bagi pihak perempuan dan anak.
Sebenarnya apa yang termuat ke dalam Peraturan Mendagri No.9 Tahun 2016 Megenai Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Suatu hal yang perlu diapresiasi, Karena dalam hal ini memberikan perlindungan dan hak bagi anak yang baru lahir. Namun dalam hal ini, tetaplah jangan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Hendaknya Permendagri No.9 Tahun 2016 Megenai Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran Ini diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta peraturan-peraturan yang lain. Agar tidak menimbulkan celah terlebih dalam hal ini bagi praktik pernikahan siri di masyarakat dapat berkembang meluas  di tengah masyarakat serta semangat pencatatan setiap perkawinan dan perlindungan hak-hak anak yang baru lahir dapat sama-sama berjalan dengan baik serta tidak menimbulkan dampak negatif kedepannya ditengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H