Banyak orang bertanya-tanya termasuk saya mengapa Ibu Menkeu kita Sri Mulyani Indrawati (SMI) terjebak didalam pusaran skandal Bank Century. Seolah-olah kecemerlangannya sebagai akademisi yang handal dan kepiawiannya mereformasi birokrasi Kemenkeu sirna bagai ditelan oleh bumi.
Secara pribadi kita ketahui, SMI adalah orang yang sangat tegas dan disiplin dalam menjalankan tugasnya. Ini sangat jelas terlihat ketika kasus suspend saham Bumi Resouces milik Aburizal Bakri. Walaupun Aburizal ketika itu Menko Kesra dan salah satu pendukung utama SBY ketika Pilpres 2004, tetapi SMI tetap bersikeras untuk tidak mencabut keputusannya. Orang dalam Kemenkeu pun menkonfirmasi bahwa SMI sangat teliti dan disiplin dalam mengambil kebijakan.
Kembali kepada skandal BC, ada beberapa indikasi mengapa SMI terlihat dijebak ketika “malam laknat” bail out BC pada tanggal 21 November 2008. Dilihat dari jam rapat KSSK dari jam 00.11 sampai mendekati jam 6 pagi, tampak SMI digiring dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Karena periode itu adalah jam biologis tubuh manusia beristirahat. Selain itu ada “gertakan” dari Bank Indonesia (BI) agar BC harus diselamatkan pada malam itu juga agar tidak kalah kliring pada paginya. Kedua factor inilah yang membuat SMI tidak dapat berfikir “jernih” ketika itu.
Yudi Latif dengan tepat menggambarkan situasi yang dihadapi SMI ketika itu, Ibu Ani membuat kesalahan bukan karena tidak mampu dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua KSSK, tetapi hanya keteledoran dan kesialan saja (Kompas,2/3). Jadi dalam pepatah bahasa Inggris, posisi SMI adalah “the right man in the wrong time” sehinggamenyebabkan SMI saat ini “from hero to zero”.
Sekarang kembali dengan judul diatas, siapakah tiga pria yang diduga menjebak SMI? Berdasarkan olahan dari berbagai sumber ketiga pria itu adalah sbb:
Pertama adalah Marsillam Simandjuntak, ia diposisikan sebagai “ahli hukum” di rapat-rapat KSSK. Jabatan resminya adalah Ketua UKP3R dibawah langsung Presiden Yudhoyono. Entah mengapa seorang Marsillam ikut-ikutan dalam rapat KSSK.
Selain itu bekas Jaksa Agung RI ini, diragukan keahliannya berguna saat itu, padahal ahli hukum yang diperlukan dalam rapat KSSK itu adalah ahli hukum ekonomi/perbankan, Tata Negara/Administrasi Negara.
Oleh sebab itu tidak aneh keputusan KSSK tidak berlandaskan konstruksi hukum yang tepat. Contohnya keberadaan Komite Koordinasi, jelas-jelas di penjelasan UU LPS pasal 21 ayat 2 mengatakan diperlukan UU terpisah untuk membentuk KK. Hal ini juga dibenarkan oleh beberapa ahli hukum tata negara seperti Irman Putra Siddin. Inilah missing link serangkaian kebijakan bail out BC.
Dengan demikian bail out BC dengan sendirinya gugur dan tidak sah dari perspektif Hukum Administrasi Negara karena KK yang “ilegal”. Ada satu petunjuk jelas Marsillam menginterfensi SMI, ini mencuat gara-gara kasus keseleo lidahnya SMI menyebut Marsillam dengan “Robert” di rapat KSSK.
Dialog lengkapnya dimulai dari pernyataan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardjojo yang menduga nasabah dengan dana besar dikuasai pemilik di Century. Kalau dana dibawah Rp 2 M bisa diselamatkan, yang diatas Rp 2 M tanggung jawab pemilik. Agus menyarankan tindakan terhadap Robert harus keras dan cepat.
Lalu dijawab SMI,”Ya udah,rapat tertutup sekarang kita… ya,Robert (Marsillam).” Lalu ‘Robert’ (Marsillam) menjawab,’Saya kira Ibu rapat tertutup saja dengan catatan, bahwa kesimpulan pasalnya adalah keadaan krisis yang kita hadapi sekarang.” (Tempo,27/12/09). Ini terang dan jelas sampai menit-menit terakhir sebelum rapat KK, SMI selalu “diganggu” oleh seorang Marsilam Simandjuntak.
Pria kedua yang menjebak SMI adalah Raden Pardede (RP) sebagai sekretaris KSSK. Dialah yang memberikan koreksi atas surat Gubernur BI yang ditandatangani oleh Boediono pada jam 23 malam tanggal 20 November 2008.
Surat GBI tersebut memuat perkiraan BI terhadap jumlah likuiditas yang diperlukan BC, terdiri dari: pemenuhan kebutuhan modal (CAR) Rp 1,77 Triliun (Rp 632 M + Rp 1,138 M). Disamping itu memerlukan likuiditas tambahan sebesar Rp 4,79 Trilyun, sehingga total kebutuhan likuditas penyelamatan BC adalah Rp 6,56 Triliun (lihat “buku putih BC” versi BI, QA Pengawasan BC, yang dikeluarkan oleh Humas Media BI di website BI).
Kemudian di “buku putih” tersebut menyebutkan: Selanjutnya hasil pembahasan dengan sekretaris KSSK menyepakati bahwa yang digunakan adalah data kebutuhan modal berdasarkan neraca per 31 Oktober 2008 dengan asumsi SSB macet masih merupakan perkiraan.
Disepekati juga bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi bank selama bulan November 2008. Raden Pardede pun mengkonfirmasi surat tersebut ada (Tempo, 3/1/2010). Tetapi akhirnya BI merevisi surat tersebut dan memakai angka Rp 632 miliar sebagai patokan awal. Disini terlihat RP selaku sekretaris KSSK berperanan penting sebagai “pemasok” informasi yang tidak valid kepada SMI.
Jadi tidaklah mengherankan pada hari seninnya (24/10/2008) SMI terperanjat melihat kebutuhan modal BC membengkak menjadi Rp 2,77 Triliun. Dari transkrip rapat konsultasi KSSK saat itu SMI berujar,” Jika begini bisa mati berdiri kita”. Sekjend Kemenkeu Mulia Nasution bersaksi,”Bu Menteri kaget dan marahlah, karena jumlahnya begitu besar” (Tempo 27/12/2009).
Pria ketiga adalah tidak lain dan tidak bukan Boediono. BI dibawah komando Boediono adalah institusi yang menjadi sumber bencana semua ini. Bagaimana sebuah institusi sebesar BI sangat “santun” mengawasi BC selama 3 tahun lamanya.
Sebenarnya BC dapat ditutup saja dan diumukan ke publik akibat dirampok secara sistemis oleh pemliknya diikuti oleh penangkapan RT. Publik pasti memahaminya dan tidak akan ada dampak sistemik lebih lanjut. Tetapi jika langkah ini diambil pasti BI akan kehilangan mukanya.
Sehingga pada kasus BC ini BI seakan mendompleng kekuasaan KSSK untuk ikut “cuci tangan” dengan melepaskan tanggung jawabnya dengan menyerahkan “bangkai” BC kepada LPS.
Sekarang nasi sudah jadi bubur, SMI tidak dapat berkelit dengan keputusan DPR agar ia bertanggung jawab terhadap keputusan KSSK. Seandainya SMI ketika itu mengikuti opini dari beberapa pembantu seniornya yaitu; Anggito Abimanyu (Ketua Badan Kebijakan Fiskal), Fuad Rahmany (Ketua Bapepam-LK) yang meragukan penilaian BI terhadap BC sebagai bank gagal sistemik.
Atau mendengar saran Dirut Bank Mandiri Agus Martowardjojo agar BC dilikuidasi saja beserta tindakan keras dan cepat terhadap RT. Atau menghubungi Pejabat Presiden saat itu Jusuf Kalla, niscaya SMI masih harum namanya sampai saat ini.
Sebenarnya ada opsi lain menunda keputusan KSSK malam itu, yaitu dengan “mengguyur” kembali BC dengan FPJP beberapa milyar rupiah untuk hari Jum’at tanggal 21/11/2008. Persis seperti BI memberi BC dana intrahari sebesar Rp 10M pada 13 Nov 2008 saat kalah kliring. Sehingga SMI dapat berfikir lebih jernih selama 3 hari karena sabtu dan minggu operasional bank tutup. Jadi betullah penilaian Yudi Latif diawal tadi, SMI membuat kesalahan karena keteledoran dan kesialan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H