Mohon tunggu...
Feri Yanto
Feri Yanto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Anak Petani Kopi dari desa terpencil di dataran tinggi Gayo, Aceh, pencinta kopi Arabika Gayo, sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warga Samar Kilang, Istiqamah dalam Keterisoliran

31 Oktober 2017   01:39 Diperbarui: 31 Oktober 2017   01:57 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingin berbagi dengan para sahabat mengenai penelusuran saya ke-daerah pelosok dataran tinggi-Gayo,  Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Daerah ini adalah Samar Kilang, kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, daerah ini adalah satu dari daerah tertinggal di Indonesia, dalam kata lain belum menikmati kemerdekaan yang selama 72 tahun lamanya sudah diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Usai melaksanakan upacara sumpah pemuda ke-89 tahun di halaman Setdakab Aceh Tengah kabupaten tetangga Bener Meriah yang juga kabupaten Induk dari Bener Meriah yang kemudian dimekarkan dengan alasan untuk mempercepat proses pembangunan di Kabupaten Penghasil Kopi Tersebut. 

Saya yang usai upacara dan sebagai petugas membaca putusan kongres pemuda pada tahun 1928 itu kemudian beranjak menuju pedalam Kabupaten Bener Meriah  tersebut, dengan menggunakan speda motor perjuangan saya  motor bebek jenis Suzuki Smash tahun 2007 yang biasa menemani perjalan saya kali ini menyususuri hutan rimba, dengan jalan yang cukup menantang.

Jalan berkerikil menyusuri aliran sungai saya lalui bersama rekan saya bernama Sadra Munawar, ia memang asli Samar Kilang,  kuliah di Lhokseumawe, lantaran saya penasaran ingin ke sana,  sayapun mengajak ia pulang kampung,    perjalanan kami kami mulai ba'da Ashar dari kota Pondok Baru sebuah kota di Bener Meriah yang jaraknya dari  Samar Kilang sekitar 60 Km.

Sebenarnya jarak itu tidaklah terlalu jauh, tapi karena kondisi jalan tidak seperti jalan di kota-kota pada umumnya jalan ke-Samar Kilang memang daerah yang terisolir membuat perjalanan terasa jauh. Beberapa kali kami semlat terguling akibat jalan licin berlumpur. Kondisi itu diperparah dengan hadi yang sudah mulai malam dan lampu speda motor saya tidak terlalu terang maka lengkaplah sudah keasyikan perjalanan itu.

Setelah melewati jalan berlumpur dan berkerikil akhirnya pada waktu Isya kamipun tiba di Samar Kilang, saya tak melihat jelas malam itu bagaimana kampungnya,bagaimana keindahan alamnya, hanya saja kami meihat beberapa ekor babi melintas dihadapan kami dan tersorot lampu motor setengah purnama alias remang-remang, barangkali kawanan babi itu menikmati betapa romantisnya sinar lampu motor saya yang setengah gelap.

Disana saya melihat betapa Istiqamah dan tawaduknya warga Samar Kilang yang sepanjang usia republik ini masih belum menikmati makna merdeka secara hakiki dan sebuah harapan pada konsensus pemuda pada 89 tahun silam belum terpenuhi, dimana harapan dalam sebuah butir keputusan yang kemudian disebut sumpah pemuda, yaitu harapa bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.

Kenapa begitu? Sebab masyarakat disini sejak jaman nabi Adam hingga jaman Now tidak pernah merasakan indahnya jalan aspal Hot Mik, terangnya listrik PLN untuk menerangi ruang-ruang rumah mereka, bayangkan bagaimana mereka hidup begitu penuh dengan keterbatasan.

Disini, harga-harga barang lebih mahal dari harga biasa di daerah lain pada umumnya, misal saja harga Bensin jenis Pertalite yang di SPBU harganya Rp. 7.500 di sini harganya Rp. 10.000, biaya produksi pertanian mahal sementara harga hasil produksi perkebunan lebih murah, sehingga ini membuat masyarakat tidak sejahtera.

Disinilah pemerintah harus hadir untuk mengangkat  derajat warganya, dengan memberikan fasilitas, infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi, sebenarnya daerah ini mempunyai potensi ekonomi yang sangat baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun