Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Kristen Calvin: Suatu Upaya Memikirkan Ulang Kurikulum Pendidikan

20 September 2016   08:50 Diperbarui: 22 September 2016   09:17 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Sekolah Kristen Calvin

Banyak kurikulum pendidikan yang terjebak pada hal-hal yang sempit. Kebanyakan di antaranya hanya menekankan aspek kognitif. Dalam banyak kasus, pencapaian akademik menjadi penghalang bagi sekolah untuk menggali aspek-aspek lain yang juga penting dalam kehidupan. Sebenarnya, sedikit banyak, kita tahu bahwa kesempitan aspek ini membawa dampak buruk. Misalnya, dalam banyak seminar bisnis, pembicara sering melontarkan lelucon seperti ini: “Orang yang sering mendapat nilai A, cenderung menjadi dosen, sementara orang yang sering mendapat nilai B pada akhirnya bekerja pada orang yang sering mendapat nilai C. Bagaimana dengan orang yang sering mendapat nilai D? Mereka berbakat menjadi anggota DPR.” Tentu saja ini adalah gambaran yang sangat karikatur. Di balik lelucon itu sendiri, tersembunyi nilai-nilai yang harus kita kritisi. Misalnya, pernyataan tersebut tentunya menempatkan profesi yang satu lebih bergengsi dari profesi lainnya. Hal ini tentunya bertentangan dengan pandangan Firman Tuhan. Kalau kita tidak membaca hal ini dengan benar, kita akan terjebak lagi pada suatu kesempitan yang lain. Tak jarang yang bahkan dengan ekstrem memilih jalur yang ditempuh beberapa pengusaha sukses, seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang drop out dari kampus. Mereka lupa bahwa jauh lebih banyak mahasiswa drop out yang akhirnya terjebak dalam kemiskinan.

Sekalipun ada hal yang salah dengan lelucon di atas, tetapi ada satu hal yang kita bisa pelajari, yaitu pencapaian akademik seseorang terkadang tidak menyediakan kemampuan yang memadai bagi seseorang. Pencapaian nilai akademik tanpa diiringi dan diimbangi dengan kemampuan dalam aspek-aspek lain, membuat seseorang terlalu “prematur” untuk terjun ke masyarakat.

Keragaman Aspek

Pengembangan aspek kognitif dan pencapaian akademik sebenarnya sangat baik. Namun, hal tersebut tidak boleh menjadi tujuan satu-satunya dari keseluruhan program pendidikan. Banyak aspek yang dapat ditinjau dari suatu realitas. Aspek-aspek tersebut dapat berupa kuantitatif, ruang, kinematika, fisis, biotik, psikis, analitik, formatif, bahasa, sosial, ekonomi, estetika, yuridis, etika, dan keimanan. (1)

Sekolah Kristen Calvin berupaya mengenalkan keragaman aspek tersebut kepada siswa. Selain aspek kognitif, siswa didorong untuk mengembangkan kemampuan psikomotorik, kematangan emosi, kecerdasan sosial, kepekaan estetika, serta kesadaran akan tanggung jawab dan etika. Selain itu, tentunya kurikulum Sekolah Kristen Calvin dirancang terintegrasi dengan iman Kristen dengan Firman Tuhan sebagai fondasinya.

Mendidik Manusia yang Utuh

Tujuan inti Sekolah Kristen Calvin adalah membentuk manusia secara utuh. Pendidikan Kristen harus ditujukan untuk kehidupan Kristen, bukan hanya untuk melatih orang-orang menjadi pakar-pakar teologi. Bukan pula sekadar mengajarkan siswa untuk mengabdi kepada negara. Bukan hanya untuk menghasilkan orang-orang terpelajar dan berbudaya. Kehidupan Kristen yang dimaksud mencakup lima dimensi, yaitu (a) kehidupan seorang pribadi, seorang manusia; (b) kehidupan iman; (c) kehidupan seseorang yang merupakan anggota komunitas Kristen; (d) kehidupan yang harus dijalani di tengah masyarakat umum; dan (e) kehidupan yang menolong pelaksanaan tugas penaklukan budaya. (2)

Penekanan yang Tepat

Selain berupaya mendidik siswa secara utuh, kurikulum Sekolah Kristen Calvin berupaya memikirkan ulang penekanan pada aspek kognitif dalam pembelajaran. Kurikulum Sekolah Kristen Calvin lebih menekankan pemahaman dibandingkan hanya sekadar menghafal. Dalam pengejaran prestasi akademik, sekolah dapat dengan mudah mengabaikan pentingnya siswa mengerti dan memahami pelajaran yang disampaikan. Banyak sekolah telah mereduksi nilai-nilai penting dalam pendidikan menjadi hanya sekadar nilai yang tercantum dalam rapor. Dalam banyak kasus, siswa hanya dilatih cara-cara menyelesaikan soal-soal supaya terbiasa sehingga akhirnya bisa mendapatkan hasil yang baik ketika ujian.

Reduksi semacam ini membuat sekolah menjadi tempat yang “teralienasi” dari konteks kehidupan. Sekolah tidak membuat siswa lebih memahami kehidupannya, tetapi menjebak siswa-siswa dalam pengejaran tanpa makna akan angka-angka dalam rapor. Tentu saja, Sekolah Kristen Calvin tidak sedang berupaya menihilkan pentingnya rapor sebagai laporan perkembangan belajar siswa. Namun, tanpa pemahaman yang sesungguhnya dicerminkan oleh nilai-nilai dalam rapor, sekolah tak lebih dari sekadar tempat siswa diberikan ujian, bukan tempat siswa dididik dengan berbagai pengetahuan.

Dalam kesempatan-kesempatan yang ada, kurikulum sekolah harus mampu menyajikan konteks kehidupan riil dalam kelas-kelas pembelajaran. Pada kesempatan lain, kurikulum sekolah harus memampukan siswa menerapkan apa yang mereka pelajari di kelas ke dalam konteks kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun