Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ahok Masih Tersenyum, Harapan yang Tak Kunjung Padam

9 Mei 2017   18:43 Diperbarui: 9 Mei 2017   20:23 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://cdn2.tstatic.net/manado/foto/bank/images/ahok-foto-bareng-pegawai-rutan-cipinang_20170509_153412.jpg

Sejarah mencatat Gandhi dan Mandela. Bahkan ribuan tahun sebelumnya, sudah ada Yusuf. Melihat contoh-contoh ini, kita dapat belajar bahwa harapan selalu ada. Kita mungkin marah dan sedih atas tragedi pengadilan di Indonesia hari ini. Namun, dari satu sudut pandang tertentu, kita harus bersyukur hidup sezaman dengan Ahok. Sama seperti orang-orang yang hidup sezaman dengan Gandhi dan Mandela.

Menjadi orang baik sama sekali tidak menghapus musuh. Orang baik apalagi benar pasti menjadi musuh bagi orang jahat. Kalau mau dicari alasan mengapa orang baik dimusuhi, tidak akan ketemu. Kalau pun ada, jawabannya absurd, yaitu mereka dimusuhi karena mereka baik dan benar. Bagi penjahat, kebenaran itu tidak menyenangkan. Sedapat mungkin, mereka akan membungkam kebenaran itu.

Berbagai cara dicari untuk menjatuhkan seorang Ahok. Jika kita ikuti berbagai berita sejak Ahok menjadi wakil gubernur, usaha itu tampak bertubi-tubi. Kandas tanpa momentum yang besar. Namun, kesempatan itu muncul. Hal yang dinanti-nanti keluar dari mulut Ahok sendiri. Kali ini, momentum untuk menjatuhkan Ahok mendapatkan respons besar hingga bergulir ke pengadilan. Tak sedikit dari kita yang mengelus dada atas masuknya kasus Ahok ke pengadilan. Namun, kita tetap berharap pengadilan dapat mengadili dengan adil.

Persidangan berbulan-bulan telah lewat, beriringan dengan momentum pilkada. Terkait pilkada ini, kita sama-sama ikuti, saya tidak bicara banyak lagi. Selasa, 9 Mei 2017 akan dicatat dalam sejarah. Bukan hanya di Indonesia, tetapi menjadi catatan dunia. Tak kurang dari New York Times telah merilis berita dan ulasan mereka mengenai vonis yang telah diterima Ahok. Ahh, rasanya sangat tidak adil. Sejatinya manusia sangat peka dengan ketidakadilan. Nurani saya tak bergeser sedikit pun, dan terus menjerit atas ketidakadilan ini.

Beberapa respons juga saya baca dari media sosial. Banyak yang menuliskan kekecewaan mereka. Tak sedikit yang hendak pindah warga negara. Beberapa teman menceritakan saudara dan rekan-rekan mereka yang sedang di luar negeri hendak melepas kewarganegaraan Indonesia.

Masih Ada Harapan. Ya, Sekali Lagi, Masih Ada Harapan!

Sedih. Marah. Tak habis pikir. Itu juga saya rasakan. Namun, jangan sampai apatis dan putus harapan. Tuhan sejatinya tidak pernah tidur. Ada kalanya Tuhan membiarkan kejahatan berjaya dalam kemenangan semunya. Hingga waktunya genap, Tuhan akan menyatakan kembali kedaulatan-Nya atas jalannya seluruh sejarah.

Jangan luntur cintamu atas Indonesia. Justru saat ini Indonesia paling membutuhkan orang-orang yang masih punya nurani untuk bersuara atas ketidakadilan ini. Terus berdoa untuk Indonesia. Terus berjuang untuk Indonesia yang lebih adil, lebih makmur, dan lebih bermartabat. Ahok sudah memberikan teladan. Dia tidak patah arang. Senyum masih merekah. Masih bisa melayani permintaan weefie dari pegawai-pegawai di rutan. Percayalah Tuhan yang berdaulat sangat mengubah skenario jahat dari penjahat untuk kebaikan yang lebih besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun