Penjelasan ilmiah mengenai resonansi baru diakui dalam ilmu fisika. Resonansi ada di mana-mana. Gelas yang pecah oleh suara penyanyi merupakan salah satu contohnya. Gelasnya ikut bergetar karena nada suara penyanyi sama dengan frekuensi alami gelas. Jika getarannya cukup kuat, gelas akan pecah karena elastisitas gelas tergolong rendah.
Resonansi bisa sangat dahsyat. Pernah ada jembatan yang roboh karena resonansi. Padahal baru diresmikan empat bulan. Saat itu, Tacoma Narrows Bridge ikut bergetar karena adanya badai angin ringan. Pas saja frekuensi gerakan angin sama dengan frekuensi alami jembatan. Layaknya ayunan, sekali diayun, ayunan dapat bertahan cukup lama, getaran jembatan tak bisa berhenti. Getaran yang makin lama makin lebar akhirnya melewati batas elastisitas jembatan, robohlah jembatan jutaan dolar itu.
Walaupun belum terjelaskan secara ilmiah, resonansi sejatinya juga terjadi juga dalam bidang sosial. Mungkin Anda pernah melihat gambar di bawah ini. Semua orang dalam aula tampak sedang menggunakan Macbook, laptop keluaran Apple. Hal ini merupakan contoh resonansi sosial.
Baru-baru saja, suatu resonansi sosial terjadi di Balai Kota Jakarta. Ribuan karangan bunga dikirimkan dari berbagai penjuru Jakarta. Ntah siapa yang memulai. Namun, aksi ini berhasil menggetarkan ribuan orang lainnya, baik pribadi maupun komunitas untuk ikut mengirimkannya. Bukan hanya layak disebut sebagai resonansi sosial, ini dapat dikatakan sebagai resonansi hati. Bisa dikatakan jutaan penduduk Jakarta ikut “patah hati” dengan kekalahan Badja dalam Pilkada DKI 2017. Gelombang patah hati ini merambat bersamaan ke Balai Kota. Menghadirkan lautan bunga yang katanya mengalahkan jumlah karangan bunga untuk pernikahan anak presiden sekalipun.
Terlambat
Resonansi ini dapat dikatakan terlambat. Sesudah kekalahan Badja, the silent majority baru berani bersuara. Melalui bunga. Sebelum tuntas putaran kedua Pilkada DKI, mungkin kelompok ini takut untuk bersuara. Gelombang demo berjilid-jilid menuntut Ahok mundur dan dipenjara melibatkan massa yang tak sedikit. Kengerian akan rusuh selalu membayangi demo-demo tersebut. Mungkin mereka juga takut akan memperkeruh masalah yang dihadapi Ahok. Mereka diam tak berdaya.
Namun, sekarang ini tak bisa lagi. Mereka sudah diam terlalu lama. Membiarkan Ahok berjuang sendirian di kursi pesakitan. Benar saja, tak ada angin, tak ada badai, kelompok ini mulai berdatangan ke Balai Kota sehari setelah Pilkada. Meskipun masih ada enam bulan masa pemerintahan Ahok, mereka ingin berjumpa sekarang. Satu persatu datang tanpa dipaksa. Sekadar ingin berfoto. Bahkan protokoler Balai Kota kewalahan. Sistem antri diberlakukan untuk mengakomodasi ribuan orang yang ingin berfoto.