Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Takut Akan Tuhan & Pengetahuan

14 September 2014   15:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:44 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemaren sore, Sabtu, 13 September 2014, Saya mengikuti suatu seminar mahasiswa dengan tema “Takut akan Tuhan & Pengetahuan – Perspektif Alkitab tentang Studi”. Seminar dilangsungkan dua jam, pukul 17.00-19.00 WIB. Saya sendiri, bersama dengan tiga teman lain, tiba telat dan acara sudah dimulai. Tulisan ini akan menampilkan poin-poin yang Saya dapatkan dari seminar yang disampaikan Pdt. Billy Kristanto, Ph.D, Th.D tersebut dengan sedikit tambahan refleksi dan perenungan Saya. Dan, karena Saya telat, mungkin ada poin-poin penting yang terlewatkan oleh Saya.

Studi sebagai Ibadah

Studi kita harus dipandang sebagai ibadah kita kepada Allah dalam menjawab panggilan unik yang diberikan Tuhan kepada kita. Oleh karena itu, memilih studi harus dalam kerangka pergumulan atas panggilan Allah dalam kehidupan kita. Satu aspek penting yang sangat penting dalam ibadah adalah kekaguman akan kemuliaan Allah. Jika kita menjalani studi kita dengan kekaguman ini maka kita dapat menjalaninya dengan penuh passion. Hal ini dapat menghindarkan kita dari kebosanan dalam menjalankan studi karena selalu ada hal yang mengejutkan kita dan membuat kita kagum. Contoh konkret untuk hal ini adalah betapa ilmuwan yang mencurahkan segenap perhatian mereka sungguh-sungguh belajar penuh kekaguman dan tidak jatuh dalam kebosanan. Hal inilah yang membedakan ilmuwan sejati dengan ilmuwan abal-abal. Tentu saja, tak berarti ilmuwan sejati tak pernah bosan. Ini bukan masalah pernah atau tidak pernah tetapi sikap hatinya sekalipun dalam kejenuhan yang mungkin terjadi tetap merasakan kekaguman dalam belajar dan tetap memandang studi itu sebagai ibadah. Hal ini dapat kita sebut sebagai aspek religius dalam studi.

Studi perlu dikerjakan dengan suka cita

Ada aspek estetika dalam kehidupan kita. Kierkegaard menempatkan aspek ini pada tempat terbawa. Namun, jika memang aspek estetika tidak penting, mengapa Tuhan harus menciptakan dunia ini begitu indah yang mana dalam keindahan tersebut mungkin tidak ada aspek fungsional di dalamnya. Kita harus menjalani studi kita sebagai ibadah kepada Allah, tetapi bukan berarti tanpa suka cita. Bahkan, dalam beribadah kepada Allah kita harus beribadah dengan rasa syukur dan suka cita. Aspek estetika, dalam arti suka cita (enjoyment) perlu dipertimbangkan dalam pemilihan studi kita. Jika kita renungkan, sikap anti-kesenangan, seolah-olah segala sesuatu yang kita sukai pasti bertentangan dengan kehendak Allah sangat tidak biblikal. Namun, tentunya kesenangan dan suka cita kita haruslah seiring dengan suka cita Allah. Dalam hal ini, sikap hati kita adalah bersukacita atas hal-hal yang menyukakan Allah.

Studi perlu dilakukan dalam aspek menjawab kebutuhan di sekitar kita

Apa yang akan kita pelajari hendaknya merupakan suatu respon kita atas pergumulan kita mengenai panggilan dari Tuhan yang mana mungkin saja Tuhan menunjukkannya melalui kebutuhan-kebutuhan yang ada di sekitar kita. Kita memang tidak dipanggil untuk menyelesaikan masalah semua orang, tetapi juga bukan untuk hanya menyelesaikan masalah kita sendiri. Panggilan hidup kita harus menjadi berkat bagi orang-orang yang kita jumpai. Hendaknya interaksi kita dengan orang-orang yang kita jumpai “menghidupkan” bukan “mematikan”. Menghidupkan karena melalui kehadiran kita, hidup orang lain menjadi lebih penuh, terlebih jika dalam anugerah Allah, orang-orang yang berjumpa dengan kita melihat pancaran kasih Allah dari diri kita. Panggilan kita adalah memikirkan kebutuhan di sekitar kita dan dalam menjalaninya kita harus mengerjakannya dengan sikap rela berkorban. Berkorban (sacrifice) bukan merasa diri menjadi korban (victiim). Akankah hidup kita menjadi sangat menyedihkan karena ternyata kita harus memikirikan orang lain, bukan diri sendiri, dan juga harus rela berkorban bagi orang lain? Kecuali kita menyakini pemeliharaan Tuhan, kita menjadi orang yang sangat menyedihkan.

Menemukan Panggilan dalam Bidang Studi

Usaha menemukan panggilan Allah dalam bidang studi tidak boleh dimulai dari diri sendiri. Kita harus melihat big picture Kerajaan Allah lalu melihat posisi kita di dalamnya. Ilustrasi yang sangat mewakili adalah proses menyusun puzzle. Dalam menyusun puzzle, kita harus tahu terlebih dahulu gambar keseluruhan yang akan kita susun, lalu kita memikirkan perlu diletakkan di mana potongan puzzle yang sedang kita pegang. Tentu saja kita tidak mulai dengan satu potongan puzzle, lalu mencoba menyusun secara sembarang gambar yang lebih besar. Kita tidak mulai dengan diri kita sendiri lalu berusaha menyesuaikan Kerajaan Allah dengan diri kita. Kalau itu yang terjadi, kita tidak sedang memenuhi panggilan Allah membangun Kerajaan-Nya. Yang kita lakukan sesungguhnya adalah menyusun puzzle kita sendiri atau membangun kerajaan kita sendiri.

Apakah kita sungguh-sungguh mampu melihat big picture Kerajaan Allah? Ilustrasi bagian tubuh sebenarnya sedikit banyak dapat menggambarkan hal ini. Kalau dipersonifikasikan, tidak ada bagian tubuh kita yang dapat melihat keseluruhan tubuh itu sendiri, tetapi bukan berarti hanya karena mata kesulitan melihat mulut tanpa cermin, lalu dia dapat berkata mata tak perlu mulut. Atau dalam pengertian yang lebih self-centered, mata melihat dirinya pusat segala sesuatu, sehingga di mana pun mata diletakkan dalam tubuh, misalkan kita bayangkan di dengkul, maka susunannya tidak akan berantakan. Tentu saja tidak demikian bukan. Tubuh kita, sebagaimana sudah diciptakan oleh Allah, masing-masing bagian harus terletak sedemikian dan berfungsi sedemikian sehingga keseluruhan tubuh saling mendukung. Itulah Kerajaan Allah. Penglihatan kita terhadap Kerajaan Allah pasti tidak sejelas Allah melihatnya. Namun, tak berarti kita menjadi mengabaikannya. Justru itulah kita harus hidup dekat Allah sehingga kita dapat semakin jelas melihat big picture itu. Tentu saja, sekali lagi, tak akan sempurna.

Baiklah, tentu saja akhirnya kita akan dan harus memilih bidang yang akan kita pelajari. Sekolah di Indonesia, SD sampai SMA, masih mempelajari berbagai bidang studi. Dalam berbagai perdebatan, kita dapat melihat sistem pendidikan di Indonesia sebagai wadah bagi kita mencari konfirmasi panggilan Allah. Tentunya tidak mutlak. Nilai-nilai yang kita peroleh dalam sekolah umum sedikit banyak menunjukkan konfirmasi kepada kita. Jika kita sudah belajar Kimia dengan tekun dan segenap kesungguhan dan kita dapat nilai kita masih pas-pasan, mungkin memang kita tidak dipanggil menjadi kimiawan. Hal ini bukanlah pandangan antroposentris. Tuhan Yesus sudah memberikan perumpamaan mengenai talenta. Talenta yang sudah Allah berikan harus kita kembangkan. Pada saat yang sama, Allah tidak akan menuntut dari kita sesuatu hal yang memang tidak diberikan kepada kita.

Konfirmasi berikutnya adalah seberapa besar berkat bagi orang lain. Memandang hal ini kita harus menghindari jebakan modernisme dan juga tentunya post modernisme. Kita seragam sekaligus unik. Kita menolak pandangan modernisme yang menekankan keseragaman dan juga post modernisme yang menekankan keunikan. Bidang yang kita dalami sedapat mungkin itu adalah respon terhadap panggilan Allah, dan hal ini dikonfirmasi melalui berkat Allah yang Allah salurkan ketika kita menghidupi panggilan hidup kita.

Sekali lagi, konfirmasi-konfirmasi ini tidak akan sejelas Allah berbicara langsung kepada kita bahwa kita terpanggil mengerjakan A, B, C, dan sebagainya. Kita harus bergumul dengan jujur di hadapan Allah untuk sungguh-sungguh mau secara taat memenuhi panggilan-Nya. Kita dapat saja menyebutkan kembali aspek enjoyment. Namun, tentunya hal ini harus dipandang dalam proporsi yang sesuai. Atau mungkin kita melihatnya seperti ini, Allah akan memberikan suka cita yang sejati ketika kita sungguh-sungguh memenuhi panggilan-Nya.

Menemukan panggilan Allah memang bukan perkara mudah. Dalam perjalanan hidup kita sendiri, sering kali kita harus melewati tahap-tahap yang dalamnya kita menjalani hal-hal yang tidak terkait baik langsung maupun tak langsung dengan panggilan kita. Namun, dalam providensi Allah, Allah dapat menggunakan hal-hal tersebut untuk membentuk kita menjadi lebih matang dan siap menjalani panggilan hidup kita. Sebut saja Yusuf, ketika dia dijual dan dipenjara. Toh, akhirnya Yusuf memandang hal-hal jahat yang dirancang saudara-saudaranya sebagai hal yang dapat dipakai oleh Allah menjadi kebaikan (berkat) bagi banyak orang. Bahkan, dalam panggilan Allah, peran kita melebihi karir yang dapat disediakan oleh dunia ini. Daniel tidak turun-turun, meskipun rajanya sudah naik-turun.

Tiba saatnya Saya harus mengakhiri tulisan Saya. Satu poin yang hendak Saya tekankan adalah sikap hati. Menemukan panggilan Allah bukanlah masalah cara, tetapi sikap hati. Sikap hati mendahului cara-cara. Sikap hati yang mau taat penuh kepada panggilan Allah. Bukan hal yang mudah, tetapi Allah akan menguatkan kita menjalaninya. Allah akan memberikan suka cita sejati ketika banyak orang diberkati melalui bidang studi dan panggilan yang kita kerjakan. Allah akan memberikan suka cita dalam kekaguman kita yang tak habis-habis. Selamat bergumul dan menjalani panggilan dari Allah. Soli Deo Gloria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun