Pertumbuhan penduduk yang cepat di kota kota besar berdampak secara langsung terhadap peningkatan kebutuhan akan ruang hunian. Terdapat tiga strategi umum untuk mengatasi masalah ini, yaitu peningkatan kepadatan perkotaan, perluasan wilayah perkotaan, dan pembangunan kota kota baru. Di antaranya ketiga pendekatan tersebut, pengembangan kota baru di anggap sebagai pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan kebutuhan ruang kota.
Di Indonesia, terdapat proyek pembangunan kota mandiri baru sebagai upaya dalam pengembangan wilayah, salah satu contoh adalah pantai indah kapuk 1 (PIK1). Berawal dari reklamasi pesisir utara Jakarta yang awalnya di penuhi rawa menjadi destinasi pariwisata terkemuka yaitu ancol. PIK 1 muncul dan berkemang menjadi sebuah kota mandiri yang lengkap dengan berbagai fasilitas, seperti perumahan, pusat perbelanjaan, dan perkantoran. Keberhasilan PIK 1 telah menjadi penggerak bagi proyek pembangunan kota mandiri selanjutnya, yaitu Pantai Indah Kapuk 2 (PIK) 2.
Namun apakah di balik pelbagai kemudahan untuk mencapai pembangunan tersebut mampu untuk mencapai tujuanya yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan?
Dalam hal mengimplementasinya mengakibatkan berbagai permasalahan di lapangan yang memicu konflik agrarian dan dugaan pelanggaran HAM, Permasalahan yang muncul di antaranya melakukan diskresi kebijakan dan percepatan pengadaan tanah dengan mengatasi berbagai hambatan yang ada, yan di terjemahkan secara kaku dan sepihak oleh aparatur negara sehingga menghambat terjadinya komunikasi dan dialog yang bermakna dengan masyarakat terdampak. Hal ini sebagaimana terjadi dalam pembangunan PSN di Pulau Rempang, Kepulauan Riau: Poco Leok, NTT: KIHI Kaltara, dan banyak PSN lain di pelbagai wilayah di Indonesia.
Kajian ini mengangkat PSN, Bukan proyek infrastruktur di luar PSN, oleh karena pelbagai kemudahan dan fasilitas yang di berikan oleh pemerintah terhadap PSN sebagaimana dimaksud dalam InpresNo.1/2016 dan PP No. 42/2021. Pelbagai kemudahan itu menuntut adanya pertanggung jawaban dan akuntabilitas ole karena memanfaatkan kewenangan dan kebijakan negara, termasuk kemudahan regulasi dan pengerahan apparat keamanan. Di dalam PP No. 42/2021 tentang kemudahan PSN, di jabarkan pelbagai fasilitas untuk PSN diantaranya regulasi, pembiayaan, dan proses penegakan hukum.
Pada periode 2020-2023, Komnas HAM menerima 114 aduan terkait PSN, Pada 2020 sebanyak 34 kasus, 2021 (24 kasus), 2022 (29 kasus) dan 2023 (27 kasus). Sebanyak 95 kasus diantaranya terindikasi merupakan pelanggaran ha katas kesejahteraan dan 5 kasus merupakan pelanggaran hak memperoleh keadilan. Jumlah aduan PSN adalah ssebagian dari 1.675 aduan dugaan pelanggaran HAM akibat konflik agrarian dan sumber daya alam (SDA) yang di terima Komnas HAM periode 2021 sd.2023.
Dari 98 aduan masyarakat ke komnas HAM, sebanyak 72 aduan yang berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, ini berarti dugaaan pelanggaran HAM akibat PSN berdampak secara kolektif atau di rasakan oleh kelompok masyarakat termasuk adat, Sebanyak 26 aduan melaporkan pemerintah pusat (Kementerian /Lembaga), 24 pengaduan mealkukan korporasi, 16 aduan mealporkan BUMD/D. 12 aduan melaporkan pemerintah daerah, 8 aduan melaporkan polri, dan 2 aduan melaporkan TNI. Hal ini menunjukan permasalahan dugaan pelanggaran ham dan PSN menyangkut berbagai faktor negara di pusat dan daerah, termasuk korporasi swasta dan (BUMN/D).
Dalam buku Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M Smith dkk, menguraikan contoh contoh hak sipil dan politik, yaitu: hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk hidup, kebebasan menyampaikan pendapat, hak beragama dan berkeyakinan, Sedangkan Louis Henkin menyatakan Hak-hak sipil dan politik mencakup perlindungna terhadap kebebasan individu sepert hak untuk hidup, kebebasan berbicara, privasi, dan partisipasi politik. Hak-hak ini bertujuan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan negara dan memastikan partisipasi dalam proses politik.
Alih-alih mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka upaya penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan di masyarakat, sebagaimana definisi dari PSN itu sendiri. “Pembangunan PIK 2, justru menimbulkan permasalahan ekonomi sosial, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baru, khususnya bagi warga sekitar yang terdampak,” ucapnya.
Pembangunan PIK 2 dan penetapan “coastal development” sebagai PSN yang telah menuai berbagai kritik sejak awal, merupakan bagian dari bentuk kebijakan negara yang melegitimasi praktik-praktik perampasan HAM dan lainya oleh sektor privat. Penetapan PIK 2 sebagai PSN hanya menguntungkan segelintir orang, ironisnya penetapan tersebut tetap di lakukan atas nama kepentingan nasional, Ujar Ferry Sekretaris lembaga kesejahteraan wilayah BEM PTNU Jabar