DUA hari lalu aku dapat kabar kalau acara YKS Trans TV dihentikan!
Huhfh, akhirnya…
Kenapa akhirnya?
Yah, acara ini sepertinya paling ramai dihujat, dikritik, tapi paling sulit untuk dihentikan. Jauh sebelum tragedi Benyamin Sueb yang bikin langkah YKS akhirnya terhenti, ada banyak kasus serupa yang nggak kalah hebohnya. Paling santer, sewaktu salah satu pemain YKS memparodikan cara ustadz berceramah. Parodi sambil cecekikan. Mana nggak lucu lagi, yang ada emosi sewaktu nonton. Sebelumnya juga ada goyangan erotis oplosan yang akhirnya harus diganti gara-gara ramai yang protes.
Tadi malam ini aku coba pantengin YKS edisi terakhir. Episode terakhir ini dimulai dengan curhatan pemain selama syuting YKS. Sambil bercerita sambil menangis. Sedih mungkin. Tapi ketika ku cek di twitter, orang-orang malah ramai bersuka cita acara ini dihentikan. Hehhehe…
Sepertinya masyarakat mulai jengah dengan tayangan televisi jauh dari kesan mendidik. Setiap hari selalu dipenuhi guyonan kasar, menertawakan kekurangan orang, mengupas kehidupan orang yang sebenarnya nggak penting, main hipnotis segala, pukul sana sini pakai gabus, dorong sana sini, hingga goyang-goyang nggak jelas sepanjang malam.
Menurutku, sebenarnya bukan cuma YKS aja yang ‘bermasalah”. Ada banyak tayangan serupa yang sedikit banyak mempengaruhi dan membawa dampak bagi penonton. Terlebih sekarang ini filter tayangan tv makin berkurang, bahkan nyaris nggak ada. Di tv, kita dengan mudah melihat tayangan yang berguyon tanpa mempedulikan dampak setelahnya. Menertawakan kekurangan orang. Kepala ditoyol-toyol gampangan. Pakaian seronok. Ucapan kasar, yang sedikit banyak membawa dampak ke penonton. Tapi lagi-lagi mereka selalu berlindung, “cuma untuk menghibur masyarakat”. Padahal kita juga berhak mendapat tontonan mendidik.
Masih ingat nggak tayangan Smack Down, yang tubuh pemainnya kekar-kekar trus banting lawannya kesana kemari kayak jemur bantal? Selepas tayangan ini, ada banyak cerita anak-anak SD yang banting teman sekelasnya gara-gara terinspirasi Smack Down. Kebanyakan merasa jagoan. Kebanyakan juga berpikir, kalau kawannya dibanting begitu nggak bikin cedera atau innalillahi.
Tayangan kriminal lebih-lebih. Terkadang proses membunuh, atau memalsukan sebuah produk diumbar secara nyata. Walau niatnya menyebar informasi biar orang-orang jadi wasapda, tapi sedikit banyak ramai orang malah terinspirasi gara-gara itu. Mungkin nggak salah juga akhirnya, kenapa mie formalin, bakso borak makin merajalela padahal razia udah dimana-mana.
Entahlah. Kadang-kadang sempat mikir, TV kita kok sepertinya nggak ada bagus-bagusnya akhir-akhir ini. Bukan cuma acara komedi, tapi tayangan berita, muskc, lebih-lebih sinetron semuanya bikin migren.
Tayangan berita sekarang malah aneh untuk ditonton. Berita mengudara sesuai pesanan dan kepentingan pemilik modal. Yang A bisa jadi C, yang C bisa diberitakan menjadi Z. Semuanya absurd. Acara musik juga, dulunya acara musik kayaknya paling cocok untuk lepasin stres seharian kerja. Tapi sekarang, nonton acara musik malah jadi stres, pusing dengan tayangannya. Bukan cuma tayangin penyanyi atau lagu baru, acara musik pun kini nyambi kayak acara gosip. Kupas tuntas kisah para presenter dengan hipnotis segala. Trus cerita kalau dia suka si A, kepingin kawin dengan si B, di putusin sama si C.
Lha, emangnya penting? Dikiranya yang nonton semuanya emak-emak rempong??!
Kalau sinetron nggak perlu dibahas lagi. Kayaknya udah tahu semuanya. Penyakitnya sama. Hal-hal yang nggak biasa terjadi di dunia nyata bisa terjadi di dunia sinetron: orang yang terserempet mobil bisa langsung hilang ingatan. Mau dicabut nyawa, masih sempat nyebutin harta warisan. Kalau pemainnya ditabrak mati, episode selanjutnya bisa hidup lagi dengan nama berbeda. Atau Ibu tiri yang jahatnya nauzubillah yang nyatanya juga nggak segitu-gitu amat.
Yah, nggak perlu dijabarin, semuanya tau gimana lucu dan anehnya sinetron-sinetron kita zaman sekarang. Judulnya pun lucu-lucu, Ganteng-Ganteng Serigala. Apaan sih? Hahahaha…
Kalau ratingnya bagus, beuuhh bisa nembus beratus-ratus episode. Tuh, contohnya, tukang bubur yang sampai sekarang nggak naik-naik haji. Padahal udah berapa kali bulan haji.
Dibandingin sekarang, kayaknya tayangan TV kita zaman dulu jauh lebih mendidik dan sadar diri. Acara music contohnya. Dulu nggak pakai rombongan anak alay atau bahas kehidupan presenternya. Full music, full kreatif!
Bagi yang hidup di zaman 1990an, masih ingat nggak dengan acara VMI (Video Musik Indonesia) yang dibawain Dian Nitami yang masih pake poni depan? Ini acara bagus sekali! Acara music yang bahas tentang konsep video klip dan orang-orang terlibat di belakangnya. Atau acara DELTA (Deretan Lagu Terbaik) yang diputar di RCTI Jam 08:30 setiap hari sabtu? Atau yang lebih familiar lagi, acara Nuansa Musik! Nah, makin kelihatan deh tuanya.
Ini acara keren-keren dan jadi referensi pencinta musik.
Acara berita juga begitu. Di zaman yang katanya reformasi sekarang ini, kayaknya masih mending nonton Dunia Dalam Berita TVRI zaman dulu, ketimbang nonton berita di tipi merah atau biru. Dulu, Dunia Dalam Berita kayaknya yang nulis dan liputan beritanya tuluuuus dan ikhlaaass sekali. Nggak kayak sekarang yang semuanya jadi salah kalau nggak berdiri dalam pihak mereka.
Kalau sinetron??
Ehmm… hingga sekarang kayaknya belum ada yang mampu menandingi Si Doel Anak Sekolahan-nya Rano Karno. Ini serial memorable sekali. Atau sinetron “CINTA” yang diperanin Desy Ratnasari dengan Primus Yustisio (kalau nggak ingat search di youtube). Sangking hitnya sinetron ini, sampai soundtrack Bahasa Kalbu-Titi DJ meledak di pasaran.
Sama kayak berita, sinetron zaman dulu yang buatinnya ikhlas lahir batin. Kalau tokohnya orang tua, beneran diperanin orang tua bukan anak muda dipaksa tua dengan rambut dicat putih. Kalau adegannya malam hari beneran nunggu malam hari, bukan syuting di dalam gedung trus lampu dimatiin. Kalau syuting di dalam café, beneran di dalam café bukan ruang tamu disulap café. Ahh, pokoknya beneran diutamakan kualitas bukan sekedar cari untung. Kualitas visual dan juga kualitas cerita.
Kalau tayangan komedi? Hhmmm…
Nah ini dia! Seingatku zaman dulu kalau komedi nggak ada pake mukul, dorong, toyol-toyol kepala, siram tepung ke muka, atau hina kekurangan lawan main. Lucunya tidak kasar atau norak kayak sekarang. Zaman dulu, lucu komedi itu adanya di jalan cerita. Adanya di dialog-dialog antar pemain. Masih ingat Lenong Rumpi, Lenong Bocah, atau Ketoprak Humor? Nilai sendiri, ada nggak pake siram-siram bedak atau teriak-teriak “masak aerrr!!!” sambil berpantun hina fisik.
Kayaknya tayangan tv kita nggak lagi siaga, tapi udah masuk tahap awas. Kalau hal ini terus berlanjut trus nggak ada juga yang peduli, nggak tutup kemungkinan ajakan matikan TV nggak mampu lagi. Kita akan terus digerogoti tayangan nggak mendidik. Hidupin channel ini, tayangannya gini. Channel lain, tayangannya hampir sama juga. Kalau begini nggak tahu harus nonton apa lagi. Mungkin langkah terakhir, bukan lagi mati tv tapi banting tv!!
Mudah-mudahan, selepas YKS dihentikan (walaupun katanya sementara), bisa disusul dengan acara-acara serupa yang semakin menjamur. Kita butuh tayangan menyehatkan. Butuh tayangan inspiratif yang bikin hidup lebih segar. Sudah saatnya acara seperti Just Alvin, Kick Andy, Hitam Putih, On The Spot, Mozaik Islam, Berita Islami Masa Kini, traveling diperbanyak.
Sebab, hiburan yang sehat melahirkan jiwa pikiran masyarakat yang sehat pula. (www.ferhatt.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H