Mohon tunggu...
Ferhat Muchtar
Ferhat Muchtar Mohon Tunggu... lainnya -

Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker Suka melamun. Nggak betah dengan bulu kucing dan asap rokok. Tukang koleksi buku-buku. Mantan teller. Penggiat FLP Aceh. Kalap ngeblog di www.ferhatt.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gunongan, Taman Permaisuri Raja

28 November 2013   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang tempat yang sering dilalui malah jarang dijamah. Sekedar untuk liburan atau mengintip keadaan. Mungkin itulah yang sering terlihat di Gunongan, bangunan putih di perempatan Jalan Teuku Umar Banda Aceh. Padahal letaknya strategis. Tapi jarang sekali yang berkunjung dibandingkan tempat wisata lainnya. Disini kalah ramai. Di tempat lain hiruk pikuknya terasa kuat, kalau disini malah sunyi senyap. Berbilang tahun tinggal di Banda Aceh, ini kali kedua aku berkunjung ke taman yang berdekatan dengan kuburan massal Belanda, Kherkhoff. Pagi itu udara sedikit menyengat, padahal waktu siang belum tiba. Beruntung kedatanganku kali ini disambut Pak Ridwan. Ia baru satu tahun yang lalu menjadi pemandu di taman Gunongan ini. Aku menemuinya di sebuah rumah merangkap mess di sudut taman. Sebelum beranjak keliling taman, ia menyuruhku mengisi buku tamu dan menyerahkan beberapa brosur wisata. Gunongan Kami berjalan menyusuri taman yang hijau. Rumput tumbuh padat dengan bunga bougenville yang menyala terang di pinggirnya. Gunongan menjulang di depan sana. Warna putih kontras dengan langit biru dan hamparan rumput hijau. “Silahkan masuk,” ujarnya sambil membuka pintu besi kecil di sisi selatan Gunongan. Aku beruntung, Pak Ridwan mengajakku untuk masuk ke dalam Gunongan. Pintu besi ini adalah pintu utama menuju puncak Gunongan. Dulunya pintu ini bernama gua berpintu tangkup perak. Bagiku melihat Gunongan selayak melihat Taj Mahal di India. Kisahnya nyaris serupa walau tak sama. Sama-sama dibangun sebagai hadiah untuk mereka yang disayangi. Selayak Taj Mahal yang hadir sebagai wujud cinta Maharaja Shah Jahan ke istrinya, Mumtaz Mahal. Begitu juga dengan Gunongan. Gunongan adalah hadiah khusus dari Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Pahang, Malaysia. Bangunan ini dibangun sekitar abad ke 16 semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 1607-1636. Sengaja dibangun untuk menepis rasa rindu dan sepi Putroe Phang yang jauh dari keluarganya di Malaysia. Berdasarkan kitab Bustanus Salatin, Gunongan termasuk dalam komplek Taman Ghairah yang mencakup hingga Pintu Khop di seberang jalan sana. Jadi bisa dikatakan, dulunya Gunongan dan Pintu Khop berada dalam satu kawasan. Gunongan ini tampak kokoh dengan dinding tebal. Masuk ke dalamnya aku terpaksa merunduk sebab langit bangunan yang rendah. “Ini dimaksud sebagai wujud hormat apabila memasuki suatu tempat atau bertamu,” ujar pak Ridwan menjelaskan filosofinya. Dinding antar ruangan juga sempit membentuk lorong panjang yang bisa dilewati oleh satu orang. Di lantai bangunan terdapat celah yang membentuk rongga kecil. Pak Ridwan meyakini jika lantai itu dibongkar terdapat terowongan panjang hingga menembus ke Pintu Khop yang letaknya berapa ratus meter kedepan. “Banyak yang bilang di bawahnya ada terowongan, tapi bisa jadi sudah tersumbat,”

Batu untuk membilas rambut, lubang menuju lantai atas, lorong sempit menuju lantai atas Di lorong sempit kami menaiki pijakan tangga menuju lantai atas melalui celah lubang. Sekilas bentuk dan ukurannya menyerupai lubang buaya di Jakarta. Di lantai dua Gunongan ini baru terdapat ruang terbuka dengan lahan sempit. Rumput hijau tubuh rapi di sela-selanya. Dari  sini aku bisa melihat struktur Gunongan lebih dekat. Bangunannya padat dan polos tanpa ukiran di dinding. Struktur bangunan ini melengkung dan saling menumpuk hingga menjulang ke atas. Ia digambarkan selayaknya topografis gunung yang berlapis-lapis dan berundak-undak. Bentuknya bersudut sepuluh. Diatasnya terdapat menara berbentuk kelopak bunga mekar yang menjulang. Di setiap sudut bangunan dilengkapi bagian seperti altar berornamen bunga mekar berdaun runcing. Pak Ridwan lantas mengajak aku mengitari Gunongan. Di sudut selatan bangunan terdapat tangga sempit dan terjal menuju lantai teratas. Dari sana pengunjung bisa melihat area komplek lebih luas. Termasuk diantaranya sebuah batu silinder di halaman kiri Gunongan. Batu itu dipercaya sebagai tempat membilas rambut permaisuri. Bentuknya bulat dengan pijakan dua tangga. Di tengahnya terdapat lubang berdiameter kecil yang menampung sedikit air. Berdekatan dengan  Gunongan juga ada bangunan persegi panjang yang melingkar tanah kosong di dalamnya. Pak Ridwan juga mengajak saya kesana. Ternyata di dalamnya terdapat area luas yang merupakan makam Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641). Ia merupakan Sultan Aceh ketigabelas menggantikan Sultan Iskandar Muda.
Makam Sultan Iskandar Tsani Di komplek ini juga terdapat museum kecil yang dikelola oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala. Ia menempati gedung yang berhadapan pintu gerbang komplek. Di dalam sana terdapat beberapa benda peninggalan dulu. seperti kendi, pecahan guci, stempel kerajaan, atau pecahan mata uang. Juga dilengkapi foto-foto yang menjelaskan bangunan sejarah di beberapa lokasi di Aceh dan Sumatera Utara.
Museum kecil di Gunongan Pak Ridwan membenarkan jika komplek wisata ini jarang dikunjungi oleh wisatawan. Jika pun ada itupun kerap tamu-tamu asing yang umumnya dari Malaysia. “Kadang-kadang sehari cuma dua sampai lima pengunjung. Bahkan juga kadang-kadang nggak ada,” ujarnya yang mengaku prihatin dengan minat warga lokal yang kurang untuk berwisata ke tempat bersejarah ini. “Padahal siapa saja bisa masuk ke dalam Gunongan. Nggak dipungut biaya. Cuma selama ini saya kunci takut jika saya lengah ada yang berbuat yang nggak-nggak di dalam sana,” lanjutnya. Disaat kunjunganku hari itu, aku juga berjumpa dengan Dina, salah satu warga Jakarta yang baru tiba di Banda Aceh. Ia juga mengamini sepinya tempat ini. “Iya tempatnya sepi padahal bangunannya rapi dan terawat,” ujarnya yang datang bersama suami. Malu juga rasanya, ia yang jauh-jauh datang langsung tertarik untuk singgah kemari. Memang sangat disayangkan jika bangunan tersisa dari komplek Taman Ghairah ini harus terabaikan dari hiruk pikuk kunjungan wisatawan. (www.ferhatt.com) INFO GRAFIS 1.Jam kunjung Gunongan Senin-Minggu jam 09:00 s/d 17:00 WIB 2.Tidak dipungut biaya untuk masuk ke kawasan ini 3.Disarankan berkunjung disaat pagi atau sore hari ketika cuaca lebih sejuk dan bersahabat. Sebab altar teratas Gunongan merupakan lahan terbuka tanpa penyekat yang menahan terik ketika cuaca panas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun