Nafasnya sengal-sengal sejak siang tadi. Sesekali kelopak matanya bergerak-gerak seakan-akan ingin memastikan siapa-siapa saja yang berada disekitarnya. Tubuhnya semakin ringkih. Hidungnya sedikit lancip tak biasanya. Hal yang terus aku syukuri hingga kini adalah, aku sempat menuntunnya mengerjakan shalat ashar. Membisiknya doa-doa shalat ditelinganya. Dan berharap Tuhan menerima shalat terakhirnya.
Menjelang maghrib, kami hanya mampu menatap Bapak dengan jatung berdetak namun tubuh tak bergerak. Bapak koma!
Diluar hujan berdera-dera. Sangat lebat malam itu. Aku masih ingat, disepanjang koridor rumah sakit abang tertuaku berbisik, kalo hal terburuk akan terjadi. Aku menangis tersedu-sedu sepanjang koridor mengetahui itu. Aku diutus pulang. Menyampaikan kabar ini ke kakak-kakakku yang berada di rumah, sekaligus membersihkan rumah agar telihat lapang agar orang-orang mudah berdoa keesokan paginya.
Menjelang pukul dua dini hari. Aku mendapat kabar Bapak dalam kondisi terberat. Ia tersadar dari koma dengan nafas semakin tak beraturan. Berhamburan kami menuju rumah sakit yang tak jauh dari rumah. Di luar angin hujan semakin menggila. Seakan tahu ada duka malam ini.
Di ruang bangsal, kesepuluh anaknya berkumpul. Masing-masing dengan tangis mendalam. Aku sadar, beginilah rupanya kita melepasnya seseorang yang dalam kita cintai. Jika bisa berandai, tentu aku ingin menahan malaikat pencabut nyawa dan menunda eksekusinya malam itu.
Bapak melemah. Dalam isyaratnya ia bertanya, “Ibu dimana??”
Ibu mendekat. Ia berdiri disudut bangsal Bapak. Saudara-saudara berkumpul malam itu. Sebagian membaca yasiin. Bergiliran kami membisik kalimat tauhid di telinga Bapak. Bergantian dengan isak. Mulut Bapak bergerak, kurasa ia mengikuti bisikan kami. Tak tahu rasa apalagi malam itu. Ibu menguatkan kami anak-anaknya. Kakakku, sebagian pingsan.
Hujan diluar mereda. Tepat pukul 01:30 WIB di paviliun Keumala nomor 7, Bapak menutup mata dengan tenang. Disaat nafas terakhirnya, ia sempat berpaling melihat anak-anaknya sesenggukan. Air matanya keluar. Hingga matanya menutup rapat, airmata itu masih ada.
Saat itu sepuluh tahun lalu hijriah, tigabelas ramadhan tepat 18 november 2002. Bapak pergi menjelang sahur. Malaikat menjemputnya dengan baik di bulan sempurna. Untuk kali pertamanya aku menumpang mobil jenazah membawa pulang Bapak. Untuk pertamakalinya di rumah kami orang-orang datang melayat dengan riuh yasiin. Untuk pertamakalinya, aku menggenggam tubuh kaku Bapak memandikannya di ruang belakang. Dan untuk terakhirkalinya, aku mencium Bapak disudut-sudut wajahnya sebelum dikafankan. Ibu menguatkan, “Kajeut bek moe lee, cukup jangan nangis lagi..”
Ia sudah tak ada sejak sepuluh tahun lalu. Malam ini genap akan hari itu. Bapak pergi dengan cerita tak biasa. Ia tak sempat melihat anak-anaknya tubuh berkembang. Dan bemain dengan cucu-cucunya yang hampir berjumlah 12 orang.
Untuk Rabbi, tolong peluk Bapakku lebih erat dalam surgaMu!