Untuk pertama kalinya setelah sekian lama hanya menjadi pembaca pasif akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menulis. Hal ini muncul setelah menonton salah satu film yang membuat saya penasaran selama beberapa hari setelah membaca berbagai tulisan di kompasiana, mendengar berbagai cerita dari mana-mana dan melihat sekilas trailer film yang begitu indah melalui youtube.
Film Soegija yang dibuat dengan berbagai sumber daya yang luar biasa mulai dari sumber dana hingga Rp. 12 Milyar dan melibatkan sekian ribu pemeran dari berbagai suku bangsa memang menimbulkan rasa penasaran. Namun setelah melihat film tersebut di salah satu bioskop di Semarang membuat saya merasa betapa tanggungnya film tersebut. Memang sangat banyak makna, pesan, cerita dan nasehat yang ingin disampaikan melalui film berdurasi sekitar 2 jam tersebut namun menurut saya, semuanya tersebut disampaikan dengan segala ketertanggungan yang tidak terselesaikan. Saya memang bukan pakar dalam hal perfilman namun ada beberapa hal yang menurut saya akan membuat film ini menjadi lebih baik.
Pertama, mengenai banyaknya cerita. Banyak cerita dalam satu film merupakan hal yang menarik. Jika mungkin ingat Babel, Crash, Love Actually, Pulp Fiction dan beberapa film lainnya yang sukses secara komersial maupun festival merupakan film yang memiliki lebih dari 1 rangkaian cerita. Namun yang membuat film tersebut berhasil adalah kemampuan sutradara merangkai cerita-cerita tersebut sehingga dapat saling berkaitan. Entah melalui adegan sederhana dimana tokoh dalam satu cerita saling bersimpangan dengan tokoh dari cerita lain atau rangkaian adegan yang dapat melibatkan berbagai cerita tersebut menjadi satu. Hal inilah yang menurut saya masih sangat kurang dalam film Soegija tersebut. Cerita Ling-ling yang berhubungan dengan cerita tuan Nobuzuki dari Jepang, atau cerita Robert yang entah bagaimana bisa berhubungan dengan wartawan Hendrick (walaupun sama-sama dari Belanda), cerita antara Mariyem dan Hendrick yang tiba-tiba mesra hingga Mariyem dan Ling-ling yang bertemu dan berdiskusi di gereja mengenai Maria menurut saya tidak berjalan secara alami. Memang keberadaan Romo Soegija seolah-olah menjadi tokoh yang menjadi titik dari semua tokoh tersebut namun terkesan dipaksakan.
Kedua, alur cerita. Upaya untuk menggabungkan banyak cerita dalam 1 film tentunya akan menimbulkan kerumitan dalam membuat alur cerita. Potongan-potongan cerita tersebut tidak terangkai dengan baik sehingga sepanjang film, akibatnya film seperti terpotong sambung tanpa alur yang mengalir. Bagaimana tiba-tiba cerita Ling-ling berganti menjadi cerita Mariyem, kemudian berganti menjadi cerita lain lagi secara tiba-tiba membuat film ini tidak begitu nyaman ditonton sebagai rangkaian satu film yang utuh.
Ketiga, akting yang masih kaku. Film ini menghadirkan banyak sekali tokoh-tokoh baru selain beberapa nama seperti Olga Lydia, Butet Kertarajasa, . Saya tidak mengerti bagaimana proses dan apa dasar namun saya melihat ada beberapa tokoh yang aktingnya masih kaku dan tidak menjiwai tokoh yang diperankan. Maryono yang terlihat kaku, pimpinan gerilya yang terlihat menghapal mati apa yang hendak dikatakan. Namun memang perlu diberikan apresiasi kepada Mariyem, Ling-ling dan Kuncung yang memang terlihat alami dengan emosinya.
Keempat, sudut pengambilan gambar. Jika melihat dari genre film Soegija yang bertema drama dengan mengangkat kemanusiaan dengan tujuan menyentuh hati penonton, tentunya ekspresi wajah tokoh-tokoh dalam film tersebut merupakan salah satu kekuatan untuk menghadirkan emosi penonton. Ada beberapa adegan dalam film ini misalnya ketika Romo Soegija tidak bisa berbuat apa-apa ketika tentara Jepang mengosongkan gereja. Sudut kamera yang mengambil dari belakang dan backlight membuat kekuatan dari adegan tersebut berkurang. Tentunya jika disertai ekspresi nyata dengan sudut close up tentunya akan semakin hanyut membawa emosi penonton. Begitu juga ketika Mariyem menghalangi kakaknya, yang terlihat hanya 2 orang dalam gelap disertai suara. Sayang sekali ekspresi kedua tokoh tersebut yang tentunya menambah emosi penonton tidak tertampilkan dengan baik. Walaupun ekspresi yang indah dari Mariyem dan Hendrick serta Robert dapat tersaji dengan baik pada beberapa adegan.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menarik bagi saya. Pertama, adegan-adegan yang ditampilkan oleh Garin memiliki sudut artistik yang sangat indah. Bagaimana ia dapat menghadirkan setting tempat yang sangat nyata. Adegan-adegan yang tersaji juga begitu indah dan mengalir meskipun kadang-kadang adegan tersebut membuat penonton bertanya-tanya maksud dari adegan tersebut. Sebagai contoh adalah adegan wanita-wanita yang membatik mengalir dengan halus namun menimbulkan tanda tanya untuk apakah adegan tersebut. Kedua, aktor dan aktris yang multi ras dan berbicara dengan bahasa aslinya kemudian pencampuran antar bahasa tersebut membuat adegan begitu nyata seolah-olah kembali ke tahun 1940an. Ketiga dan yang paling utama adalah makna dan pesan yang ingin disampaikan sepanjang film tersebut. Mulai dari “Opo gunane pinter yen mung meres wong liya” (“apa gunanya menjadi pandai kalau hanya memeras orang lain”) atau “seorang pemimpin itu ya bekerja” hingga “kalau mau terjun ke dunia politik, harus memiliki mental politik” memang sangat tepat dengan keadaan Indonesia saat ini.
Tentunya dengan harapan para politikus tersebut bersedia menyediakan waktunya untuk menonton film Soegija dan merenungkan bahwa nasib dan keberlangsungan Indonesia berada di tangan-tangan mereka dengan melupakan kepentingan pribadinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H