Sinetron si Doel Anak Sekolahan yang sekarang sedang diputar ulang di RCTI sebenarnya mengajarkan kita untuk bersikap wajar. Wajar bagaimana dan seperti apa ? itulah pertanyaannya. Wajar seperti si Doel, seperti Babe, seperti Karyo, atau Mandra, atau bisa juga wajar seperti pola hidup kita sehari-hari. Kenapa begitu ? ya karena realita dalam si Doel adalah realita yang sebenarnya walau tidak 100% sama dan identik. Realitas si Doel adalah bagaimana suatu kehidupan keluarga betawi yang teguh menjaga adat dan budaya serta nuansa modern yang pasti akan mereka hadapi. Inilah potret yang ada di Indonesia saat ini bukan potret Cinta Fitri, Safa dan Marwah, atau yang lain-lain sinetron yang hanya menjual mimpi. si Doel memang menjual mimpi tapi mimpi yang bisa dinalar bahkan mungkin inilah yang perlu kita aktualisasikan. Kesalehan, kejujuran dan kesantunan itu yang sudah jarang tampak di ibukota akhir-akhir ini. Ketika tampak sebuah kesantunan tidak jarang dilandasi dengan simbol-simbol agama yang sangat kuat, bukan karena pribadi yang asli Indonesia. Ketika tampak sebuah kejujuran yang ada hanyalah pemaksaan untuk berbuat jujur dalam arti tidak menerima uang suap bukan kejujuran untuk melihat keadaan di sekitarnya. Kesalehan saat ini juga identik dengan penampilan bukan keadaaan yang membentuknya. Coba perhatikan berapa banyak jamaah haji asal Indonesia tiap tahun, yang berbanding lurus dengan jumlah kemiskinan yang terus meningkat. Kewajaran yang dipotret dari keluarga si Doel adalah realita mimpi yang orisinal, kita juga bisa wajar bila kita mengerti dan memahami masyarakat bukan teori atau kritikan yang sok cerdas. Kewajaran bersikap dan berperilaku sesuai budaya kita saat ini sedang kurindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H