Mohon tunggu...
Ferdinand Lukas
Ferdinand Lukas Mohon Tunggu... Perawat - Ners

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengubah Musuh Menjadi Tamu?

24 April 2023   20:05 Diperbarui: 24 April 2023   20:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Musuh, siapakah itu? Jawabannya adalah diri sendiri. Mengenal diri sendiri memang sulit, apalagi jika terus mengandalkan ratio yang tidak diimbangi dengan perasaan dan emosi. Setiap orang mempunyai sudut dan arah pandang yang sama yaitu ingin bahagai dan dimengerti. Hanya saja sikap cuek dan dingin yang membuat pikiran, perasaan, dan emosi menjadi tidak karuan. 

Mengubah musuh menjadi tamu, sama halnya mengubah pola pikir negative menjadi emosi positif yang dipondasi oleh perasaan. Mengubah muuh menjadi tamu merupakan segudang perasaan yang dipenuhi kegelisahan dan keraguan, inilah yang membuat kesan dan kenangan menjadi hal yang membekas dan menempel pada emosi atau perasaan.

Manas mengajarkan bahwa emosi terkadang membuat kita menjadi kuat, bahkan  membuat kita lemah, hal inilah yang melibatkan pikiran, perasaan, dan emosi. Manas dalam terapi ELA (Eling lan Awas) juga memberikan kita imajinasi untuk melatih konsep pikiran, perasaan, dan emosi, harus seperti apa dan harus bagaimana? Pembaca menyimpulkan bahwa Manas mau supaya kita belajar fokus, rileks, dan tenang terutama saat berlatih. 

Walaupun kadang kala fokus dan rileks hanya bisa dilakukan secara diam dan menyaksikan, dengan tujuan agar pengalaman postif tidak berubah-ubah, melainkan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman menyenangkan itulah yang akan membawa kita pada kenangan yang baik dan menyakitkan atau bahkan menyedihkan. Kenangan itulah yang membuat pola pikir menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan yang unik, seperti: seandainya? Bagaimana? Saya ingin? Jikalau?

Nah, pertanyaan-pertanyaan unik itu biasanya sering muncul saat kita mulai melatih pikiran dan perasaan yang tersimpan dalam memori, yang didasari dari lamunan dan imajinasi yang dibentuk dan ditampung dalam perasaan dan emosi (senang/postif, sedih/negative, dan biasa-biasa saja/netral. Hal inilah yang membuat pikiran, perasaan, dan emosi menjadi pembawa damai bahkan mampu menyembuhkan diri sendiri. 

Penyembuhan diri sendiri itulah akhirnya tercurah dalam sebuah imajinasi yang diciptakan melalui mimpi. Mimpi berkaitan dengan keinginan kita, entah dimasa lalu atau keinginan yang belum terpenuhi. Mimpi mengajarkan kita bahwa membiarkan pikiran, perasaan, dan emosi mengalir begitu saja, tidak akan akan memberikan kesan yang positif, melainkan gejolak yang negative, untuk itu mengolah pikiran, perasaan, dan emosi menjadi mimpi sangat penting karena mampu mengalirkan kenangan yang menyadarkan dan menyembuhkan diri.

#Psikologi_Manas_ELA (Eling lan Awas)

#Lukas Ferdinand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun