[caption id="attachment_350129" align="alignleft" width="780" caption="Rudiantara, Menkominfo Kabinet Jokowi-JK"][/caption]
Hari itu, Senin 11 September 2000 sekitar jam 13.30 siang di salah satu ruang di Lt.8 - jika tidak keliru lantainya. Hari itu, 3 hari sebelum serangan bom ke kantor Bursa Efek Jakarta (kini BEI). Saya baru saja akan melakukan wawancara dengan pria ini. Ia berkantor di bilik yang sekelilingnya penuh dengan hiasan kristal bening dengan berbagai macam bentuk. Wawancara saya petang itu tentang dua topik yang di masa itu sedang hot-hotnya, yakni mengenai wireless application protocol (wap) yang diperkenalkan oleh Ericsson pada 1997 dan topik mengenai perbedaan antara GSM dan CDMA, dimana ketika itu GSM dioperasikan oleh tiga operator yakni Telkomsel, Satelindo (Indosat) dan Pro XL. Mengapa saya harus datang ke pria ini, selain karena dia adalah ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), konon dia adalah satu dari segelintir expert telekomunikasi yang paham hingga ke jeroannya tentang GSM. Dan, pria itu adalah Rudiantara, Direktur Strategic dan Governance PT Excelcomindo Pratama dan Ketua ATSI.
Kala itu, belum banyak wartawan telco khususnya seluler yang memiliki pemahaman yang mumpuni tentang bidang ini. Jangankan wartawan, praktisi yang expert saja bisa dihitung dengan jari. Selain Rudiantara, ada pula Garuda Soegardo di Telkomsel yang jadi idola para wartawan telco yang jumlahnya tidak banyak juga. Paling tidak di KOMPAS ada AW Subarkah dan Renne Patty Radjawane, di Bisnis Indonesia ada Setyardi Widodo, Jakarta Post Tantri Yulaindini, saya dan Salim Shahab dari Warta Ekonomi. Kembali soal Rudiantara dan Garuda Soegardo, selain expert, dua narasumber ini juga termasuk yang mudah dihubungi. Wawancara by phone bukanlah hal yang memberatkan mereka.
Wawancara dengan Rudiantara siang itu, tidak berbeda dengan wawancara-wawancara terdahulu. Dari sekian banyak narasumber yang pernah saya temui, Rudiantara adalah satu-satunya narasumber sekaligus mentor yang mampu menjelaskan hal-hal teknis pertelekomunikasian dengan praktis dan mudah dipahami. Misalnya ketika ia menggambarkan perbedaan antara GSM (Global System for Mobile Communications) dengan CDMA (Code Division Multiple Access) dimana GSM yang ketika itu berada di generasi kedua dan menggunakan frekwensi 900 Mhz, nantinya akan bergeser ke frekwensi 1800 Mhz dengan kemampuan komunikasi data yang lebih baik via GPRS (General Pocket Radio System). Bagi saya, Rudiantara tidak seperti sedang diwawancarai melainkan sedang bertindak sebagai dosen dan mengajari mahasiswanya. Bagaimana tidak, kalau orang lain diwawancarai sambil duduk menghadap recoder, ia justru berdiri dengan spidol dan menerangkan sambil menulis di whiteboard. Ketika papan itu sudah penuh, ditulisnya nomor halaman dan semua tulisannya dia print. Ketika wawancara berakhir, semua print out tulisan dan sketsa itu diserahkannya kepada saya sambil bilang, "Nih Fer, sudah saya tulis dengan baik, halaman diberi nomor, kamu bawa aja dan pelajari. Jarang lho wartawan telco yang paham sampai begini detail," ujarnya datar sambil senyum.
Pria kelahiran Bogor 3 Mei 1959 ini bukan narasumber yang pelit dengan ilmu dan keahliannya. Bayangkan, di tengah jam kerja yang teramat padat itu, ia masih mau 'nguliahin' wartawan seperti saya. Belum berhenti di situ. Setelah wawancara, kami ngobrol ringan dan saya cerita tentang gencarnya perusahaan IT asal USA yang sedang memerkenalkan produknya ERP dan CRM di Indonesia. Rudiantara pun serta merta bangun dan menunjukkan saya di layar PC-nya, bagaimana modul ERP itu sudah mereka terapkan di XL. Pendek kata, ia adalah eksekutif yang rendah hati, teliti dan tidak pelit mengarahkan namun royal dalam mengawasi.
Di hari-hari sebelumnya, maupun hari-hari berikutnya, jika melintas di sekitar kawasan Mega Kuningan, kerap saya kirimkan sms kepada beliau, menanyakan, jika tidak sibuk apakah saya boleh mampir. Jika ia tidak sibuk maka saya akan langsung menuju ruangannya, tentu via satpam karena sekuriti di gedung itu tergolong ketat. Begitu datang, biasanya beliau langsung bertanya, "Hari ini kita bahas apa Fer?" Lalu mulailah dia mengeluarkan semua ilmunya, mulai dari jaringan broadband, spektrum frekwensi untuk voice dan data serta berbagai hal lain. Saya selalu meninggalkan kantornya dengan seberkas ilmu 'mahal' yang saya dapatkan secara 'gratis.'
Tahun 2011, saya hendak ditarik untuk menjadi editor di majalah MATRA. Pagi itu usai wawancara dengan Rudiantara, saya pun mengutarakan niat saya untuk meninggalkan Warta Ekonomi karena ingin pindah ke media lain. Beliau pun bertanya, mau pindah ke mana dan kenapa pindah. Saya lalu menjelaskan alasan saya, bahwa standard-nya alasan orang pindah adalah karena ada tawaran yang lebih bagus. Rudiantara - yang mungkin pernah membaca MATRA, lalu berkata, "Sebagai teman, sahabat, saya menyarankan agar pertimbangkan lagi. Kenapa? Karena ilmu telco kamu sudah cukup banyak dan tidak banyak wartawan yang menguasai sektor ini dengan baik seperti ilmu yang kamu punyai." Ia lalu berbicara tentang perjalanan karirnya dan niatnya di masa mendatang. "Saya pikir di swasta, saya tidak mau lama-lama, Fer. Ada mimpi saya, suatu saat nanti bisa mengabdikan diri untuk bangsa dan negara ini. Ya enggak tau, bagaimana caranya tapi itu niat saya." Hari itu saya terdiam cukup lama mendengarkan dia dan akhirnya saya pamit sambil berkata, "Baik bos, saya akan pikirkan saranmu tadi."
Meski tetap di Warta Ekonomi, saya akhirnya jadi freelance di MATRA selama 2 tahun, sebelum kemudian saya pindah ke SMART FM pada September 2013. Saya masih kerap berkomunikasi dengan beliau, hingga akhirnya saya pun diminta untuk menjadi editor di majalah Bisnis PROPERTI milik Panangian Simanungkalit. Itu masih di tahun 2013. Sejak pindah ke Properti, saya hanya sesekali berkabar-kabari saja dengan sang guru itu. Hingga akhirnya pada 2006, saya bertemu kembali dengan dia di ruangan Wakil Dirut Semen Gresik. Sempat kami berkelakar, saya akhirnya pindah bidang ke properti, dan beliau yang ekspert telco pun terdampar di industri semen yang tak jauh-jauh dari properti. "Ya, ingat kan Fer, saya pernah bilang dulu, saya memang punya niat untuk meninggalkan dunia swasta untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Nah, perusahaan ini kan BUMN jadi ya mendekati dengan apa yang saya katakan itu."
Perjalanan selanjutnya, Rudiantara seperti semakin dekat dengan obsesi-nya untuk mengabdi kepada negara. Ia hanya sekitar 2 tahun di Semen Gresik, dan kemudian ia ditarik menjadi Wakil Dirut PT PLN. Tahun 2009 saya masih sempat menelepon beliau, juga mengingatkan ia tentang niat pengabdiannya kepada negara yang semakin mendekati kenyataan sempurna.
Sejak Dahlan Iskan masuk menjadi Dirut PLN dan Rudiantara kembali ke habitatnya di Telkom, komunikasi kami pun mulai jarang. Hingga akhirnya ia didaulat menjadi komisaris Indosat. Telkom dan Indosat adalah dua perusahaan dari mana ia berasal dahulu dan akhirnya ia kembali lagi ke sana. Rupanya, kembalinya ia ke Telkom dan Indosat itu adalah napak tilas.
Ya, napak tilas untuk kemudian ia harus menerima pemenuhan atas niat yang pernah ia sampaikan beberapa kali sejak pertama di tahun 2001 itu. Pastinya Tuhan tidak tidur dan senantiasa mendengar niat tulus ciptaanNya yang ingin mengabdikan diri bagi sesama. Akhirnya, Rudiantara, pria berkacamata yang kolektor hiasan kristal itu pada Minggu, 26 Oktober 2014, 13 tahun setelah niatnya itu dia utarakan pada saya, Presiden RI Jokowi di halaman istana negara memperkenalkan Rudiantara sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (menkominfo), bidang yang adalah keahliannya.