Malam itu, hujan deras mengguyur desa kecil di lembah bukit. Petir menyambar, menerangi sebuah rumah tua yang berdiri angkuh di tengah hamparan kebun. Rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Penduduk desa menjulukinya sebagai "Rumah Kembar", karena memiliki dua pintu utama yang identik. Salah satu pintunya selalu terkunci, tak ada yang tahu apa yang ada di baliknya.
Kirana, gadis berusia 17 tahun yang tinggal di desa itu, selalu penasaran dengan pintu misterius tersebut. Dia sering melewati rumah itu sepulang sekolah, memperhatikan detail ukirannya yang rumit. Suatu malam, keberaniannya terpacu oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Dengan mengenakan mantel tebal, ia menyelinap keluar dari rumahnya.
Saat Kirana tiba di depan "Rumah Kembar", jantungnya berdegup kencang. Angin dingin menerpa wajahnya, seolah memperingatkannya untuk segera kembali. Namun, rasa penasaran lebih kuat dari rasa takut. Kirana membuka salah satu pintu yang tidak terkunci. Pintu itu berderit keras, seolah memberi isyarat bahwa ia tidak diundang.
Di dalam, ruangan itu dipenuhi debu dan aroma kayu lapuk. Lilin di atas meja masih utuh, meski kelihatan sudah berabad-abad. Di sudut ruangan, sebuah piano tua berdiri membisu, dengan not-not berkarat yang seolah menunggu seseorang untuk memainkannya. Tapi perhatian Kirana segera tertuju pada pintu kembar di sisi ruangan. Kali ini, pintu itu tampak lebih tua dan berlumut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H