Marah-marah seringkali terasa nikmat. Seperti seseorang menahan buang air besar ketemu toilet, setelah keluar dari toilet, rasa lapangnya sama dengan habis marah-marah. Itu cuma satu dari sekian panjang daftar akibat dari marah-marah.
Banyak akibat menimpa gara-gara marah-marah. Yang sedang marah memang lagi naik pitam, yang dimarahi bila merasa tidak bersalah juga bisa terpancing naik pitam. Kalau keduanya sudah sama-sama naik pitam, apa yang selanjutnya terjadi tergantung catatan takdir. Karena bisa berakhir pada kematian, nah, takdir siapa mati saat itu?
Siapa yang bisa menghindarkan diri dari keinginan untuk marah-marah? Kufikir tak ada. Yang ada cuma menunda marah, tapi diwaktu lain tak bisa ditunda. Kemampuan macam apa yang perlu dimiliki untuk bisa menunda marah-marah, karena spontan marah-marah bisa muncul.
Seperti saat menulis tulisan tentang marah-marah ini. Sebenarnya saya ingin marah-marah. Cuma tak etis bila dari awal tulisan sudah marah-marah. Saya coba memberikan argumen sedikit agar marah-marah saya ditulisan ini tidak dianggap sakit jiwa.
Nah, ini daftar kemarahan saya. Tidak semuanya saya tuliskan, karena terlalu banyak dan panjang. Sebenarnya saya ingin menunda kemarahan saya ini. Sudah sekuat mungkin saya berusaha menundanya hingga tulisan ini jadi bertele-tele, tapi apa hendak diperbuat bila tak tertahankan lagi.
Saya tidak menganggap bahwa kolom tulisan ini sebagai kloset seperti perumpaan saya di paragraf awal. Cuma, saya tidak mampu berteriak untuk marah-marah karena sedang sakit gigi. Jadi lewat tulisan saja.
Gigi saya yang sakit ini sudah beberapa bulan tak dicabut, padahal sudah berlubang. Harga untuk menyembuhkan sakit gigi ini sebanding dengan beras dan cabai. Jadi selama belum ada tenggang antara harga beras dan cabai agar uangnya bisa disisihkan untuk cabut gigi, saya akan menahan sakit gigi ini terus. Ini membuat amarah saya semakin terdorong meluap.
Motor vespa kesayangan saya juga sering membuat saya marah. Padahal bukan dia penyebab kemarahan saya. Dia cuma jadi tumbal dari harga bensin yang seperti racun pembunuh pembuluh kaki. Racun yang membuat manusia tak dapat melangkahkan kaki untuk mencari rejeki, bersilaturahmi, dan berdemonstrasi atas kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Knalpot motor itu juga lebih sering mengagetkan nenek tetangga saya. Suara knalpot motor vespa memang melengking terputus-putus. Dia selalu saja mengira suara knalpot saya itu suara ledakan gas. Wah, saya jadi khawatir akan kesehatan jantungnya. Tapi, vespa ini belum bisa digantikan motor yang lain. Karena seperti pemain bola, saya tak mampu membayar nilai transfer motor lain.
Mohon maaf bila saya belum memberikan daftar kemarahan saya. Terlalu panjang. Kemarahan itu sering saya tabung dalam hati. Karena kalau saya luapkan, bisa-bisa saya dianggap membuat seseorang jadi Loosing Face, padahal memang sudah tak punya muka. Jadi setiap tindak-tanduknya selalu saja mencari perhatian biar dianggap perhatian.
Saya marah besar, marah bukan main. Tapi kalau sudah marah-marah bisa-bisa saya dijebloskan ke penjara atau rumah sakit jiwa, karena perkataan saya itu spontan dari hati dan rekaman peristiwa selama ini. Tak ada rekayasa dari kalimat itu. Cuma secara hukum dianggap perbuatan tidak menyenangkan bahkan fitnah karena tak ada bukti. Padahal bukti itu jelas ada karena semua orang tahu. Cuma, memang tak memenuhi syarat bukti di pengadilan.
Orang yang sedang marah-marah secara spontan memang sedang bicara jujur. Tidak seperti orang yang tampaknya tak marah tapi kalimatnya dibolak-balik biar logis dan kebohongannya terlihat jujur.
Ah, aku marah karena sudah tak ada tempat lagi untuk anak cucuku nanti. Semuanya sudah terjual habis. Kalau jadi superman, ingin kugantung mereka yang sudah menjual semuanya itu di Monas dalam keadaan telanjang. Aku marah. Aku ingin ke toilet sebentar. Maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H