Tanpa membuang waktu, Damar dan Maya turun ke lantai bawah. Gudang itu berada di ujung lorong, pintunya sudah berkarat dan tampak jarang dibuka. Ketika Damar membuka pintu, bau apek langsung menyeruak. Di dalam, terlihat tumpukan barang tua---foto-foto usang, boneka kayu, dan perabotan yang berdebu.
Damar memusatkan perhatiannya pada sebuah cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Bingkai cermin itu terbuat dari kayu berukir dengan pola yang serupa dengan simbol di buku ritual. Ketika Damar mendekatinya, permukaan cermin tiba-tiba menjadi gelap, seperti bayangan yang menyedot cahaya.
"Ini dia..." gumam Damar. Ia menyentuh bingkai cermin, dan seketika, hawa dingin kembali menyeruak, membuat Maya mundur ketakutan. Di permukaan cermin, sosok wanita tadi muncul lagi, kali ini dengan mata merah menyala. Ia tersenyum sinis, menunjukkan gigi yang tajam dan runcing.
"Kau telah menemukanku... sekarang kau harus membayarnya!"
Cermin itu bergetar hebat, dan suara jeritan mengerikan terdengar, menggema ke seluruh rumah. Maya berteriak, tetapi Damar tidak gentar. Ia membuka buku ritual dan mulai membaca mantra pemurnian sambil memegang salib perak di tangannya. Cermin itu memantulkan cahaya terang yang tiba-tiba muncul dari salib, membuat sosok wanita itu berteriak kesakitan.
Namun, sebelum ritual selesai, cermin itu pecah berkeping-keping, dan bayangan hitam melesat keluar, menghilang ke kegelapan. Suasana menjadi sunyi sejenak, tetapi Damar tahu masalahnya belum selesai.
"Maya," katanya dengan suara rendah, "ini baru permulaan. Arwah itu tidak akan pergi begitu saja. Kita harus menemukan caranya untuk benar-benar mengurungnya."
Maya memandang Damar dengan takut. "Apakah kita bisa melawan makhluk seperti itu?"
Damar menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Bisa. Tapi kita harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Arwah tidak akan mengganggu tanpa alasan."
Di tengah kesunyian malam, suara tawa kecil terdengar dari arah tangga. Bayangan itu masih ada, menunggu waktu untuk menyerang lagi.
Bersambung ....