Saat pertama kali berbicara tentang ayam potong mungkin yang terlintas dibenak kita adalah pasar yang becek dan kotor. Bahkan tidak sedikit yang terkesan kumuh. Anggapan tersebut memang benar adanya. Sejak saya berusia belasan hingga sekarang setelah menganggap diri cukup dewasa, pasar selalu seperti itu. Namun tahukah kita bahwa pasar tradisional terutama, merupakan salah satu penggerak perekonomian Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk mengantisipasi kemajuan jaman. Namun hal tersebut bukan berarti akan mengurangi arti pasar tradisional sendiri.
Kali ini saya tidak akan berbicara tentang pasar karena bukan merupakan keahlian saya. Sesuai dengan judul yang saya hantarkan, maka kali ini saya akan membahsa tentang ayam potong atau kebanyakan orang mengenalnya dengan ayam broiler.
Ayam potong merupakan salah satu komoditi yang hampir dipastikan ada disetiap pasar tradisional. Namun siapa mengira bahwa ayam potong yang terkesan kurang bersih tersebut tidak menguntungkan. Ibu saya adalah salah satu pedagang tradisional yang menjual ayam potong sebagai komoditinya. Bergelut sejak umur saya masih kecil hingga sekarang.
Mari kita bahas keuntungan yang kira-kira didapat dari bisnis ayam potong metode "IBU" ini. Ibu saya setiap harinya menjual ayam potong kurang lebih sebanyak 150 ekor perhari dengan berat per ayam anggap saja rata-rata 2 kg. Harga beli ayam hidup tersebut dari peternak adalah Rp. 25.000,-/kg sehingga total setiap hari ibu mengeluarkan uang sebanyak Rp. 7,5 juta. Saat penyembelihan ayam, yang kira-kira dilakukan oleh 5 orang setiap hari terjadi susut atau pengurangan karena terbuang bulu dan kotorannya sekitar 50 kg sehingga menyisakan 250 kg ayam bersih dengan harga jual perkilo ayam brsih sebesar Rp. 35.000,-. Sehingga kalau semua terjual maka akan mendapatkan uang sebesar Rp. 8,75 juta. Selisihnya atau yang merupakan keuntungan kotor adalah sebesar Rp. 1,25 juta. Jika dikurangi oleh biaya produksi dalam hal ini gaji karyawan dan biaya lain-lain maka anggap saja tersisa 1 juta rupiah sebagai keuntungan bersih. Jika sebulan 30 hari, maka keuntungan Ibu adalah 30 juta perbulan.
Pembahasan diatas adalah jika kita hanya menjual dagingnya saja dan berasumsi harga perbagian daging sama. Padahal pada kenyataannya terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam penjualan perbagian daging misalnya antara dada, paha, daging tanpa tulang (atau dalam bahasa lombok disebut piletan). Dan juga belum terhitung jika kita menjual bagian lain seperti jeroan ayam serta kaki dan kepala ayam tersebut.
Perhitungan diatas adalah perhitungan kasar tentang penjualan daging ayam yang terkesan remeh namun sangat menggiurkan. Sebagai catatan, bahwa pembahasan kali ini adalah kulitnya saja, lebih detail Insyaallah akan dibahas dilain kesempatan. Semoga kita semua terinspirasi akan cerita sederhana yang tidak inspiratif ini. Mengapa demikian? Karena otak kita sekarang terlalu dimanja oleh kisah-kisah kesuksesan besar yang sangat besar dan jauh lebih besar dari daya juang kita.
Ibu adalah inspirasi sederhana tentang kesuksesan yang siapapun bisa melakukannya, silahkan dicoba, kalau sukses Alhamdulillah, kalau belum sukses coba lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H