Mohon tunggu...
Aleix Ferdian
Aleix Ferdian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

30-09-96 || Dari pikiran ke tulisan || ahmadferdians.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Hadiah di Hari Ibu

23 Desember 2013   19:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor 95.

Pagi itu menunjukan pukul 02.00. Aku terbangun dari mimpi indahku. Alunan suara musik dangdut begitu terdengar disini. Ya aku berada disebuah cafe dikawasan Jakarta Pusat, tempat Ayahku mencari nafkah. Aku tidur didalam sebuah kamar yang lebih mirip dengan gudang sendirian, sedangkan Ayahku sedang bekerja. Ia adalah seorang manajer dicafe ini.

Aku keluar dari kamar untuk mencari Ayahku. Alunan musik terdengar lebih menderu disini. Aku melihat beberapa bayangan orang sedang berjoget sambil menyawer penyanyi dangdut. Lampu yang dimatikan membuatku semakin kebingungan mencari Ayahku.

Diatas sebuah sofa duduk beberapa wanita mengenakan pakaian yang kurang bahan bersama Ayahku sedang berbincang. Salah satu dari wanita itu melihatku dan berkata:

“Adek sini dek”

Aku mendekatinya, ia langsung menggendongku duduk dipangkuannya. Harum parfumnya langsung menjalar dihidungku.

“Adek mau ini gak?” sambungnya sambil memperlihatkan sebuah minuman dingin.

“Mau” jawabku singkat.

“Dih siapa itu Don?” kata Ayahku.

Aku terdiam. Lalu Ayahku mengenalkan wanita itu. Ia bilang namanya Tante Girang. Ia berkata seperti itu sembari tertawa.

“Kalo mau ini cium tante dulu” kata Tante itu.

Aku terdiam. Untuk menatap wajahnya saja aku tak berani apalagi untuk menciumnya. Ia lalu tertawa melihat tingkahku dan berkata:

“Mau gak nih?”

Aku tetap diam seribu bahasa. Akhirnya ia memberiku minuman dingin itu dan Ayah menyuruhku untuk kembali tidur.

3 Tahun kemudian ...

Aku baru pulang sekolah, siang itu kulihat rumahku ada beberapa orang asing. Seorang wanita yang membawa seorang anak perempuan berumur kira-kira 1,5 Tahun. Didekatnya ada Ayah dan kulihat Ibuku sedang menyapu air matanya. Ia mencoba tersenyum walaupun matanya yang merah menunjukan ekspresi tak menyenangkan.

“Doni mau ikut Ayah atau Ibu?” kata Ayah.

Aku bingung, tak tahu maksudnya dan tak tahu harus menjawab apa. Namun dari hati kecilku bilang Ibu!

“Ibu” kataku pendek.

Aku masuk kekamarku. Tak lama kemudian terdengar suara mobil Ayahku. Ia pergi bersama wanita itu. Terdengar olehku Ibu menangis. Kucoba untuk menghampiri dia. Namun ia melihatku dan berlari menuju kamarnya. Kutatap punggungnya, punggung wanita terhebat yang pernah ada didalam hidupku.

Sejak saat itu Ayahku tak pernah menunjukan batang hidungnya lagi. Tak ada kabar, tak ada uang yang dikirim. Ah mungkin ia sudah bahagia bersama wanita jalang itu. Aku tak membenci Ayahku. Ibu selalu bilang jangan pernah membenci Ayah, walau bagaimanapun dia tetaplah Ayahmu. Kata-kata itu selalu bergeming dikepalaku jika aku ingat saat-saat pahit yang membuat hati kami teriris. Oh Ibu engkau terlalu sabar untuk menghadapi Ayah.

22 Desember 2013

Hari ini usia Ibu genap setengah abad sekaligus hari Ibu. Aku pulang dengan membawa sebuah kue kecil, dan sebuah gelang emas sebagai hadiah. Terlintas dikepalaku andaikan ada sosok Ayah disini. Mungkin kebahagiaan kecil kami pasti menjadi besar. Tiba-tiba handphoneku bergetar, menandakan ada telepon masuk.

“Halo.” kataku

“H...Halo.” seorang pria bersuara serak membalas.

“Ini siapa ya?”  balasku. Namun ia tak menjawab.

“Haloo.” Tetap tak ada jawaban.

“Kalo gamau ngomong saya matiin nih” kataku kesal. Langsung kumatikan teleponnya. Ia menelpon lagi, dengan nomor yang sama.

“Ini siapa sih?” kataku dengan nada setengah tinggi.

“I...Ini Waluyo, Ayahmu nak” kata bapak itu dengan suara sangat serak.

Aku terdiam kaget. Tak kusangka ia masih ingat ulang tahun Ibu. Air mataku meleleh.

“Kenapa kamu nak?” kata Ibu.

Kuberikan handphone itu pada Ibu. Mereka bicara panjang lebar. Ibu menangis. Tiba-tiba datang seorang mengenakan jaket usang berwarna coklat, dan celana jeans yang usang pula. Uban mulai tumbuh dikepalanya. Kulitnya sawo matang. Kedua matanya berkaca-kaca, menandakan penyesalan yang dalam. Itu adalah Waluyo, Ayahku.

Ia tersenyum, air matanya mulai berjatuhan. Kutatap Ayah dalam-dalam. Kulupakan semua yang pernah ia buat pada kami. Kami mendekatinya dan memeluknya.

“Ayah, Doni kangen sama Ayah” kataku sambi menangis dipelukan Ayah.

“Maafin Ayah ya” balas Ayah.

Aku mengangguk, menandakan iya. Air mataku tumpah.Ibu menagis tak karuan, bukan air mata kesedihan, atau kekecewaan namun air mata bahagia.

Terima kasih Tuhan, kau telah persatukan kami kembali.

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group  FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun