Mohon tunggu...
Ferdi Febiansyah Dj
Ferdi Febiansyah Dj Mohon Tunggu... -

mantan calon rockstar\r\n\r\nferdixrockstar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Model Kepemimpinan Zaman Sekarang

3 Februari 2015   15:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya ingat betul sekitar tahun 2007 an, zaman dimana operator-operator selular berperang tariff (our world, their war) bersamaan dengan tahun dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa tariff operator selular harus sama dengan tarif telepon lokal. Mungkin kita masih ingat operator A beriklan “telepon hanya Rp. 0,1 per detik ke sesama operator” ada juga operator B “telepon hanya Rp.0,0001 per detik ke sesama operator “ operator C tidak mau kalah “telepon sepuasnya ke sesama operator hanya Rp. 0,0000000000000…..1 perdetik ke sesama operator”, operator D lebih beringas “telepon gratis ke sesama operator, kalau perlu kita yang bayar”. Saya bertanya dimana akal sehat mereka? Apa sampai harus beriklan secara tidak wajar walau kenyatannya tidak bisa di tepati?.

Jelas saya yang waktu itu menggunakan ponsel memilih menggunakan operator yang paling agak sehat akalnya diantara yang sakit. Akhirnya tidak lebih dari setahun, iklan-iklan yang tidak waras itu hilang, seiring dengan hilangnya kebijakan telepon murah mereka. Apa yang terjadi? Yahhh seperti yang bisa ditebak, promo hilang maka konsumen yang udah terpancing iklan  kembali ke operator sebelumnya yang mereka pakai. Atau yang paling lucu, mereka tetap memakai operator dengan alas an banyak relasi penting yang sudah “nanggung” tahu nomornya itu sambil tetap menggurutu tanpa bisa lepas darinya karena setelah promo “super murahnya” selesai, mulai kelihatan wajah operator itu sesungguhnya.

Jelas lah karena promo-promo itu dalam rangka menjerat mangsa sudah sangat banyak menghabiskan energy dan materi. Kurang berhasil strategi itu, beralih ke strategi lain. Masih di tahun-tahun itu juga mulai dikenal istilah kartu sekali buang, karena setiap kartu operator perdana akan diberikan banyak bonus untuk menjaring “korban” baru oleh produsen penyedia layanan telepon selular.

Untung kah operator? Jelas saja, seperti kacang rebus yang sedang diskon, ludes. Lama kah layanan promo tersebut? Tidak karena konsumen juga cerdas, begitu manfaatnya habis maka di buanglah nomer telepon itu. Saya melihat ini seperti perang cerdas antara konsumen dan produsen yang segera tidak lama kemudian pemerintah turun gunung untuk menengahi perang tidak terlihat itu dengan mengeluarkan peraturan kalau setiap nomor yang digunakan harus didaftarkan berdasarkan nomor KTP si pengguna, sehingga akan mengurangi duplikasi nomor telepon.

Saya menyimpulkan kalau pelayanan apapun di Indonesia ini sangat money and imaging oriented, bukan customer oriented. Andaikan saja si perusahaan operator itu memikirkan jangka panjang produk dan promosi mereka dan jangan hanya menjaring dengan pencitraan semata seolah-olah menjadi operator termurah tetapi dengan layanan yang walaupun bukan kategori termurah tapi tetap berkelanjutan, atau mengutip Robert Kiyosaki harus ada sustainable service. Terbukti sampai saat ini diantara oprator-operator tadi ada yang sudah menjadi fosil, ada yang beradaptasi dengan perubahan dan bertahan hidup. Well, survival for the fittest berlaku dalam dunia bisnis.

Nah, sekarang saya tidak lagi akan membahas masalah operator telepon seluler, saya sudah tidak peduli, operator yang saya pilih dulu termasuk penganut faham darwinis dalam bidang bisnis, mereka bertahan hidup hehehe. Sekarang tahun 2015, 8 tahun berlalu dari kejadian-kejadian konyol tadi. Life’s rolling is just like a circle with different side.

Sekarang saya melihat fenomena ini : pemimpin-pemimpin baik daerah atau pusat melakukan hal sama yang pernah dilakukan perusahaan operator telepon selular tadi yaitu memberikan kebijakan yang tidak berefek panjang untuk mensejahterakan masyarakat, memberikan harapan dan kesenangan sesaat bagi masyarakat yang kalau saya pikir kebijakan-kebijakan seperti itu hanya tepat diberikan apabila masyarakat sudah mandiri dan mapan secara ekonomi.

Pernah dengar pemimpin suatu daerah membuat kebijakan pembangunan  taman gembok cinta? taman fitnes? Bus wisata keliling kota? Parade meriah hari ulang tahun kota? gerakan berbahasa? Bahagiakah masyarakatnya? Jelas saja bahagia, tetapi tidak memberikan manfaat lama. Saya menganalogikan seorang ayah mengajak seluruh keluarganya untuk menikmati fasilitas kota yang ada tadi, bermain-main bersama anak-anaknya dan mereka senang sampai akhirnya harus pulang ke rumah dimana dia harus memikirkan besok akan diberi makan apa anak-anaknya, dengan apa dia akan membayar tagihan listrik, rumah serta sekolahnya dan disinilah keceriaan tadi terhenti.

Ini baru disisi masyarakat, belum dari sisi pengelolaan dan pemeliharaan fasilitsa tadi. Saya yakin anggarannya besar untuk melakukan pemeliharaan fasilitas-fasilitas tersebut. Darimana datangnya anggaran itu berasal? dari masyarakat dengan mayoritas keadaan ekonomi seperti keluarga tadi yang membayar pajak. Tentu saja pajak yang dia bayar rendah, karena daya belinya juga rendah. (kembali lagi) andai saja pemimpin daerah tadi membuat kebijakan tentang memberikan kemudahan apapun dalam membuat izin (apakah izin usaha, mendirikan bangunan, dana bantuan usaha ataupun masalah kependudukan) tentu inilah yang diharapkan masyarakat walaupun manfaat dan kesenangannya tidak terlihat langsung.

Saya baru saja mengalami kejadian yang sangat buruk dalam mengurus masalah data kependudukan saya. Saya mencabut berkas kependudukan di daerah yang pimpinannya tersandung korupsi dan sangat terkenal dengan politik dinastinya, sebuah kota pemekaran baru. Bayangkan, untuk menerbitkan surat pindah sebanyak dua halaman kertas saja saya harus mengeluarkan uang sebesar Rp.500.000 dengan waktu hampir enam bulan!. Padahal kota ini dikenal karena inovasi pelayanannya yang secara tidak kebetulan kantor tempat saya bekerja mengundangnya sebagai model inovasi pelayanan, sayangnya saya tidak hadir pada saat acara itu untuk mengkoreksi habis-habisan statusnya tentang inovasi pelayanan.

Tidak selesai sampai disni, saya harus membuat status data baru ditempat saya pindah sekarang. Dan lagi-lagi, uang sebanyak Rp.500.000 harus saya keluarkan untuk mengurus status kependudukan ini. Hal inilah yang tidak pernah di sentuh untuk perubahan, karena masyarakat lebih suka pembangunan fisik yang memanjakan mata. Masyarakat tidak pernah akan peduli akan hal ini sampai mereka mengalami masalah serupa dengan yang saya alami dan media pun tidak mau meliput berita tidak menarik seperti ini.

Saya sangat percaya bahwa masyarakat Indonesia itu sejatinya mempunyai jiwa kewirausahaan yang tangguh jika saja pemerintah memberikan fasilitas yang baik dalam hal ini. Sayang, sebaliknya yang terjadi, izin apapun di Negara ini sangat sulit dan mahal yang hanya bisa di jangkau oleh orang-orang tertentu. Oleh karena ini jadinya masyarakat Indonesia cenderung tidak tertarik untuk menjadi wirausahawan. Jadi jangan salahkan masyarakat kalau penerimaan pajak kita rendah, karena pajak yang diterima dari kalangan pekerja itu kecil dibandingkan kalangan wirausahawan.

Oke, ternyata masyarakat kita kebanyakan menyukai citra kepemimpinan dengan model-model yang seperti ini dan media masa pun seperti diberikan makanan gratis dengan adanya pemberitaan-pemberitaan. Jadilah gaya kepemimpinan seperti ini menjadi tren di Negara Indonesia, siapa yang ingin jadi pemimpin maka lakukanlah hal-hal tadi. Dibandingkan merubah model birokrasi yang manfaatnya lebih banyak bagi masyarakat lebih baik membuat masyarakat lupa sesaat akan himpitan masalah hidup. Plus bonus : citra baik. Oleh karena itu saya tidak percaya bulat-bulat apabila ada pemberitaan dari media mainstream tentang kinerja seorang pimpinan daerah yang katanya luar biasa baik, karena tipe seperti itu biasanya pelayanan kepada masyarakatnya buruk.

Ada untungnya ibu saya mengingatkan saya sewaktu kecil “kalau makan, kunyah sampai lembut sehingga jika ada batu atau kotoran dalam makanan akan terasa dan segeralah buang makannya ke tempat sampah jangan di ludahkan”. Baru sekarang saya sadar kalau pendidikan oral di masa kecil itu penting. hehehe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun