Mohon tunggu...
Shavana Mujahidah
Shavana Mujahidah Mohon Tunggu... -

Bagi saya Menulis itu belajar jujur pada diri sendiri, berani mengungkap adalah bentuk penundukan ego...\r\n\r\nAlhamdulilah udah menerbitkan beberapa cerpen di media lokal Kendari Pos dan menerbitkan dua buku masing-masing dengan Judul Pelangi cinta (Duhari Rabbi Izinkan Kugapai CintaMU) dan Me N Love Shava (Merangkai Serpihan- serpihan Cinta).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memaknai Hidup, Untuk Apa?

13 Februari 2014   16:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selalunya ada cerita yang di bawa pulang ketika seseorang br saja bertemu keluarga besarnya. Misalnya saja tentang si ini yang dlu jaya sekarang redup. Tentang si itu yang bla..bla.... Bagi saya itulah kehidupan kita tidak pernah menebak dengan persis akhir kisahnya. Tugas kita hanya memproyeksikan dan memastikan bisa lebih baik ke depannya.

Sebenarnya jika di runut dengan lebih sistematis hidup ini harusnya bisa di proyeksikan dengan lebih baik ketika tujuannyapun jelas untuk apa kita hidup? jangan pernah bermimpi bisa hidup nyaman, aman bahagia memiliki anak2 yang sukses jika saja saat ini kita memulainya dengan sesuatu yang tidak berkah. Kemudian buatlah hidup ini sesimpel mungkin bahkan untuk cara mengisinya. Tidak selalunya org sukses itu di simbolisasi dengan hidup "wah" yang menyebabkan seseorang tidak lagi memprioritaskan hal2 yang benar2 urgen dalam kehdpannya misalnya menyekolahkan anak dll dan lebih memilih utnk tetap merasa memiliki arti di depan org lain. Saya banyak menyaksikan sendiri org2 terdekat saya yang salah mengartikn makna kesuseksan dengan simbol2 materi duniawi dan foya2 ketika lagi berada di puncak kejayaan hidup sehingga lupa berinvestasi dengan menyiapkan anak2 mereka dengan sekolah (ilmu) dan melatih memandirikan sejak dini serta membekali karakternya dengan ilmu hidup. Shingga generasi yang di hasilkan tidak siap berkompetisi dalam mengarungi kehiduapan mereka, anak2 itu tetap ingin berlindung di bawah ketiak org tuanya walau umur mereka tak lagi bs di katakan anak2.

Dan akhirnyapun sangat mudah untuk di tebak ketika org tua tak lagi memeluk kejayaan hidupnya sedangkan anak2 yang di hasilkanpun tidak bs menyamai dan meneruskan bahkan bernasib sebaliknya. Hanya renungan atau intropeksi dirilah yang harusnya bs menjadi sebuah akhr pemaknaan hidup yang hrs di lakukan. Apa yang salah, apa yang masih bs diperbaiki? Kalaupun sudah tidak ada lagi yang bs di lakukan. Akhirilah semuanya dengan tetap beroptimis. Hidup memang cuma sekali sisa kehidupan yang masih ada di genggamanlah yang menjadi kesempatan kedua untuk segera bangkit memperbaharui, merevisi niat dan tjuan hidp ini. Anak2 yang telah dewasa mau tdk mau menjadi tanggung jawb pribadi masing2. Walau andil orang tua tdk bs begitu sj di lepas. Tp saat2 inilah org tua masih bs memberi andilnya untuk memperbaiki smuanya dengan mencoba melepas anak2nya untuk benar2 berani mandiri, dan mengejar serta membangun impiannya sendiri. Harus Rela dan Tega untuk kebaikann anak. Harus!
Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun