Sumber daya genetik ternak (SDGT) sapi lokal merupakan aset nasional yang sangat berharga, sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Kementerian pertanian republik indonesia telah melepaskan sebanyak 16 rumpun/galur yang sudah ditetapkan sebagai rumpun/galur lokal indonesia. Menurut dirjen peternakan dan kesehatan hewan rumpun/galur yang ada di indonesia yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Galekan, sapi Pogasi Agrinak, sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi Sumbawa, sapi Jabres, sapi Krui, sapi Kuantan, sapi Pasundan, sapi Donggala, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi PO Kebumen, sapi Sumba Ongole, dan sapi Rote.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 117/Permentan/SR.120/10/2014, penetapan rumpun atau galur adalah pengakuan pemerintah terhadap rumpun atau galur yang telah ada di wilayah sumber bibit yang telah dibudidayakan secara turun-temurun oleh peternak dan dimiliki oleh masyarakat. Sumber daya genetik ternak (SDGT) lokal dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan melalui penetapan rumpun dan galur ini. Â Sementara itu, pelepasan rumpun atau galur adalah penghargaan negara terhadap rumpun atau galur baru yang dibudidayakan di dalam negeri atau di luar negeri. Tidak terlepas dari pada rumpun/galur yang sudah kita miliki ini harus dirawat dengan baik dan tentu dorong untuk memperbanyak populasi dan menghasilkan daging sapi yang berdaya saing.Â
Berdasarkan rumpun/galur sapi lokal yang sudah ditetapkan tersebut, terdapat nama latin yang harus kita ketahui dalam istilah bahasa peternakan di indonesia. Seperti Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Galekan, Sapi Pogasi Agrinak, Sapi Aceh, Sapi Pesisir, Sapi Sumbawa, Sapi Jabres, Sapi Krui, Sapi Kuantan, Sapi Pasundan, Sapi Donggala, Sapi Rote disebut sebagai nama Bos javanicus domesticus karena jenis sapi tersebut merupakan keturunan/generasi dari Bos Javanicus yaitu sebagai tetua sapi lokal indonesia yaitu (Banteng). Serta Sapi Peranakan Ongole (PO), Sapi PO Kebumen, Sapi Sumba Ongole disebut dengan nama latin Bos indicus domesticus.
Merujuk pada UU no. 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 1 ayat 1 yang di maksud dengan "peternakan" segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, Benih, Bibit, Bakalan, Ternak Ruminansia Indukan, Pakan, Alat dan Mesin Peternakan, budi daya Ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana. Pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa "Peternak" adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha Peternakan. sebagaimana kita bisa baca secara seksama bahwa istilah yang dicatat dalam undang-undang tersebut seperti paranoid yang bersinggungan jauh dalam kenyataannya, dalam realitas nyata di masyarakat pedesaan dan/atau kalangan bawah yaitu bahwa yang dimaksud dengan peternak itu tidak ada kualifikasinya, faktanya jelas terlihat dalam hasil observasi yang dilakukan oleh lembaga Sekolah Peternak Rakyat (SPR-1111) IPB. Rata-rata masyarakat yang memelihara ternak itu dalam cakupan satu desa itu per kepala keluarga hanya 2-3 ekor ternak ruminansia kecil sampai-sampai hanya punya 1 ekor ternak, itu pun hanya sebagai tabungan saja dan akan jual saat dibutuhkan masyarakat. Padahal sesungguhnya masyarakat yang memelihara ternak tersebut tidak mendapat fasilitasi sesuai amanat undang-undang.
Berhentinya Program Strategis
Sumber Daya Genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru. Pada tahun 2011 keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P. 58/Menhut-II/2011 enhut-II/2011 tentang Rencana dan Strategi Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) tahun 2010-2020, memimbang : (a). bahwa untuk meningkatkan usaha-usaha konservasi banteng (Bos javanicus) beserta habitatnya diperlukan strategi dan rencana aksi konservasi nasional banteng sebagai kerangka kerja yang memerlukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan semua pihak terkait; (b). bahwa dalam rangka peningkatan usaha konservasi banteng sebagaimana dimaksud huruf a diperlukan adanya strategi dan rencana aksi konservasi banteng (Bos javanicus); dan poin (c) nya yaitu penetapan hasil program strategis tersebut.Â
Agenda yang melatar belakangi dari program ini, atau asumsi dasarnya adalah dari populasi yang menurun, mudah beradaptasi, memiliki nilai budaya dan ekonomi yang penting bagi bangsa indonesia. Terakhir tertuang yaitu belum jelasnya kebijakan nasional dalam pengelolaan populasi banteng yang berada di dalam hutan produksi dan perkebunan, dengan target tujuan nya menaikan angka populasi mencapai 5% pada tahun 2020. Jika kita merujuk pada program strategi dan aksi konservasi yang dilakukan oleh kementerian Kehutanan, Menurut catatan International Species Information System (http://app.isis.org/abstracts/abs.asp) tanggal 7 September Tahun 2010 banteng yang dipelihara di lembaga konservasi di dunia untuk Bos javanicus sejumlah 80 ekor (25 betina dan 55 jantan) sedangkan B. j.javanicus sejumlah 138 ekor (43 betina dan 95 jantan). Jumlah banteng yang ada di lembaga konservasi di Indonesia sebanyak 63 ekor (35 betina dan 28 jantan). Bisa terlihat jelas bahwa populasi sebaran yang ada di indonesia begitu miris dan membuat harus segera dikolaborasikan dengan berbagai pihak kementerian, swasta dan masyarakat untuk menjalin kolaborasi segitiga emas.
Tidak bisa dipungkiri, tujuan yang dilakukan oleh menteri kala itu tidak serius dalam menjaga dan mengembangkan sumber daya genetik ternak (SDGT), padahal plasma nutfah ternak lokal kita di indonesia masih banyak yang belum teridentifikasi. Bisa kita hitung apabila target yang ingin dicapai selama 10 tahun dari 2010-2020 dengan target 5%, berarti hanya akan bertambah populasinya menjadi 198 ekor dari 63 ekor. Melihat fakta ini tentunya sangat merugikan berbagai pihak khususnya rumpun gen yang kita miliki tidak dijalankan dengan serius, padahal faktanya kalau target capaiannya mencapai angka 20% dan/atau 30% itu masih bisa dilakukan asal catatannya agenda ini dijalankan secara bersama-sama dan melibatkan ahli berdasarkan bidang yang ditekuninya yaitu dengan cara pemulian ternak.Â
Sungguh mengerikan bila hal yang sama akan terjadi dimasa yang akan datang bila sumber plasma nutfah genetik ternak kita tidak secepatnya di tata dengan baik dan benar. Dari tahun ke tahun indonesia terus menerus bergantung pada impor dengan peningkatan yang signifikan, dan tidak terencana. Padahal banyak sekali ahli yang membicarakan tentang mencapai kedaulatan pangan sebagai sumber hasil produksi ternak mulai dari daging, telur, dan susu. Belum lagi masih banyak ternak ternak yang harus diidentifikasi kemurniannya dari komoditas ternak lainnya. Salah satunya sumber daya genetik ternak (SDGT) domba garut yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan. Apakah kita akan bertahan dengan realitas yang ada saat ini atau kita (negara) mau mencapai kedaulatan pangan dengan sungguh-sungguh untuk memotong ketergantungan dari negara lain dan tentu menjadikan indonesia sebagai negara yang unggul dari segi pemuliaan dengan sumber daya genetik ternak lokal.