Mohon tunggu...
Fera Eka yulianti
Fera Eka yulianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

welcome...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Childfree Keputusan Pribadi atau Beban Sosial?

5 Juni 2024   21:44 Diperbarui: 5 Juni 2024   22:01 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena adanya childfree yang menjadi pilihan untuk tidak memiliki anak, persoalan ini mejadi semakin marak di perbincangkan di Indonesia. Diskusi tentang persoalan childfree semakin memanas, diwarnai dengan stigma dan banyaknya kesalahpahaman. Di satu sisi, ada yang menganggap jika childfree merupakan hak setiap individu yang harus dihormati. Namun disisi lainnya ada pula yang khawatir dengan adanya childfree akan berdampak negative untuk masa depan bangsa dan nilai-nilai keluarga. Harus digaris bawahi jika childfree merupakan pilihan pribadi setiap orang yang didasari oleh berbagai pertimbangan. Dengan mempertimbangkan alasan dibalik keputusan untuk melakukan childfree, keputusan tersebut dapat berupa faktor ekonomi, Kesehatan, hingga keyakinan pribadi. Bagi sebagian orang menjadi orang tua bukan bagian dari panggilan hidup, dan sebagian lainnya beranggapan jika merasa tidak mampu memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Namun apapun alasannya, childfree bukan berarti tidak memiliki konsekuensi. Karena di Indonesa sendiri memiliki budaya dan nilai-nilai keluarga yang masih berkaitan erat dengan memiliki anak. Hal itu dapat memberikan tekanan sosial bagi mereka-mereka yang memilih untuk childfree. Mereka sering kali di anggap egois dan menentang tradisi, bahkan mereka yang memilih untuk childfree tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Secara umum, childfree merupakan suatu keputusan yang mengacu pada seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki keturunan. Pada dasarnya childfree bukan menjadi istilah baru. Istilah childfree sudah banyak diterapkan di negara maju misalnya negara Jepang. Keputusan childfree merupakan keputusan yang sifatnya personal. Dalam mengambil keputusan childfree setiap pasangan tentunya sudah memutuskan secara matang. Di Indonesia edukasi dan dialog terbuka perlu untuk diadakan untuk menghindari terjadi stigma dan diskriminasi terhadap individu mengenai childfree. Masyarakat perlu memahami bahwa childfree merupakan pilihan setiap individu dan bukan suatu tindakan yang tidak bermoral.

Beberapa waktu lalu, banyak di perbincangkan tentang seputar sejumlah influencer yang memutuskan tidak mempunyai anak atau childfree di kalangan netizen. Berita ini viral setelah salah satu influencer yang bernama Gita Savitri pernah mengutarakan pendapatnya soal childfree di media social. Pada unggahan tersebut Gita Savitri atau biasa disebut Gitasav tersebut menyatakan bahwa pilihan untuk memutuskan childfree semata-mata hanya untuk terlihat awet muda. Sontak dengan adanya pendapat ini, Perempuan yang berusia 30 tahun tersebut diserang oleh netizen yang rata-rata merupakan seorang emak-emak. Namun di balik dengan adanya hal tersebut, rupanya Gita Savitri sendiri pernah menyampaikan sebuah pernyataan melalui tulisan di blog pribadinya yang ditulis pada 5 Maret 2015 silam, yang kemudian blog tersebut dibagikan seorang warganet yang ada di Twitter. Dalam tulisan tersebut Gita Savitri sebelumnya sempat memiliki rencana bahwa ingin memiliki dua anak, yang dimana dalam tulisan itu Gita Savitri sendiri membayangkan bagaimana ketika nanti ia menjadi seorang orang tua untuk anak-anaknya. Mulai dari adanya memikirkan soal pendidikannya, cara mendidikanya kelak ketika di rumah, dan sebagainya.

"Gue pernah ngobrol gitu sama cowo gue. Gue sama dia setuju kalua anak kita nanti mesti dididik bener-bener. Dituntun, dikasih tau mana yang bener dan mana yang salah tapi ngga menggurui. Dikasih pemahaman kali ya biar lebih ideal," tulis Gita Savitri dalam blog pribadinya.

"Terus gue kan parnoan ya sama dunia jaman sekarang yang gilanya udah luar biasa. Gue bilang ke doi kalo kita berempat (gue pengen punya dua anak insha Allah) tiap jum'at ada tarbiyah di rumah, biar anak gue punya karakter, prinsip, pendirian, dan ngerti jelas mana hitam mana putih. Ngaji bareng-bareng, diskusi bareng-bareng. Pilih temanya jelas harus yang sesuai sama umur anak-anak gue nanti," sambung Gita Savitri.

Masih di dalam tulisan tersebut, Gita Savitri ternyata sempat ada fase dimana dirinya sangat menyukai anak kecil. Justru ia menyebutnya bahwa menjadi seorang Ibu merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia sekaligus yang paling sulit.

"Masa-masa ini dateng juga ya akhirnya. Gue jadi seneng liat anak kecil, gue jadi pengen juga kalo ngeliat temen nikah, gue udah mikirin anak gue segala. Gue pikir gue bakal jadi orang yang pursuing career banget gitu, taunya pengen jadi ibu hahaha. Ah nggak ada salahnya kan ya? Ibu kan pekerjaan yang paling mulia. Paling sulit, tapi pahalanya paling banyak," tulis Gita Savitri

"Apalagi kalo ngejalaninnya dengan ikhlas.Well, liat ntar kapan jodoh gue datang. Semoga yang ini yang terbaik, tinggal dihalalkan aja. Terserah yang di atas aja gimana. Udah ah nanti gue jadi melankolis lagi. Daah!" tutupnya.

Dengan adanya hal tersebut menjelaskan bahwa childfree sendiri sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru lagu. Namun dalam hal ini seakan-akan istilah childfree sendiri dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Terbukti dengan adanya suatu alasannya yang menjelaskan bahwa norma dan budaya masyarakat Indonesia sendiri menganggap bahwa memiliki seorang anak menjadikannya sebuah kebutuhan, bahkan sebagai suatu perantara mengharapkan suatu keberkahan. Tak heran jika istilah childfree sendiri men jadin sangat sensitive di telinga masyarakat Indonesia.

Istilah "childfree" mengacu pada orang-orang yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak karena alasan tertentu. Ini merupakan topik yang cukup kontroversial dan sering diperdebatkan karena berbenturan dengan norma sosial dan ekspektasi bahwa orang harus memiliki anak. Menurut pandangan saya, keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan hak dan pilihan pribadi yang harus dihormati. Setiap individu memiliki alasan dan pertimbangan yang berbeda-beda dalam mengambil keputusan ini, seperti fokus pada karir, gaya hidup, alasan finansial, kepedulian lingkungan, atau bahkan preferensi pribadi untuk tidak menjadi orang tua. Namun, sering kali orang "childfree" menghadapi stigma dan penilaian negatif dari masyarakat yang beranggapan bahwa tidak memiliki anak adalah sesuatu yang egois atau tidak normal. Ini tentu tidak adil karena menjalani hidup tanpa anak bukanlah suatu pilihan yang mudah dan harus dihargai sebagai pilihan hidup yang sah.

Di sisi lain, perlu juga mempertimbangkan bahwa ada dampak demografi dan sosial jika terlalu banyak orang memilih gaya hidup "childfree", mengingat populasi yang terus menua membutuhkan generasi penerus. Namun hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dan budaya yang mendukung orang-orang untuk memiliki anak jika memang menginginkannya. Pada akhirnya, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, bukan merupakan keputusan pribadi yang kompleks dan harus dihormati oleh semua pihak. Masyarakat perlu lebih terbuka dan tidak menghakimi mereka yang menjalani gaya hidup "childfree".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun