Di masa pandemi Covid-19 ini, berita duka menjadi lebih sering terdengar, baik di tempat-tempat ibadah maupun media sosial. Sebagai masyarakat yang menunjung tinggi kebersamaan, mengetahui adanya kerabat atau kawan yang meninggal dunia tentunya mendorong hati nurani kita untuk mendoakan almarhum atau almarhumah dengan kebaikan, dan juga menghibur keluarga yang ditinggal.Â
Namun, di masa pandemi seperti ini kita harus menerima dengan lapang dada terhadap bermacam perubahan yang ada demi kemaslahatan bersama. Ada beberapa pergeseran dalam tradisi dan tata cara bermasyarakat sebagai dampak lanjutan dari situasi yang ada. Misalnya, tentang model takziah.
Takziah adalah salah satu tradisi untuk  menghibur keluarga yang ditinggalkan supaya mereka sabar dan tabah menghadapi masa berduka. Sunnah ini kemudian diadaptasikan oleh budaya-budaya lokal, sehingga setiap daerah mempunyai tata cara yang khas dalam bertakziah.Â
Sebut saja di Madura, biasanya tamu-tamu bertakziah dari hari pertama hingga ketujuh. Jarang sekali masyarakat bertakziah pada hari kedelapan dan seterusnya, kecuali yang bertempat tinggal jauh. Berakhirnya tahlil hari ketujuh menandakan selesainya pula masa takziah bagi masyarakat sekitar. Hal itu ditandai dengan dibereskannya tenda-tenda dan tikar yang digelar di sekitar rumah duka.
Namun, ada cara yang berubah jika warga yang meninggal adalah penderita covid-19. Ada beberapa model takziah yang dulu sama sekali tidak pernah ada sebelum pandemi. Di antaranya adalah:
Pertama, menunda waktu takziah. Jika dalam kondisi normal masyarakat bertakziah dari hari pertama meninggal hingga hari ketujuh, maka hal yang berbeda jika almarhum atau almarhumah meninggal karena wabah. Biasanya takziah dilakukan setelah masa isolasi mandiri keluarga almarhum selesai, atau hari kelima belas. Hal ini lama-kelamaan menjadi sebuah kebiasaan yang lazim dipraktikkan.
Kedua, takziah dialihkan ke rumah kerabat almarhum. Ketika seseorang meninggal akibat wabah, maka seharusnya keluarga terdekat yang tinggal serumah melakukan isolasi mandiri (sekarang lazim disingkat isoman). Karena itulah, maka tahlil dan takziah biasanya dialihkan ke rumah sanak famili almarhum yang tinggalnya tidak terlalu jauh dari rumah duka.
Ketiga, takziah secara virtual. Hanya di masa pandemi inilah kita mengenal adanya tahlil dan doa bersama secara virtual, terutama jika ada tokoh yang wafat akibat covid. Acara yang dilakukan secara daring ini menjadi solusi yang tepat di masa sekarang. Jika tidak, pastinya tamu dari para tokoh itu tak terbendung lagi jumlahnya. Apalagi jika yang wafat adalah kiai atau keluarga sebuah pesantren besar, tak ayal lagi ribuan santrinya akan berdatangan. No matter what, karena ikatan antara santri dan kiai sangatlah kuat.
Itulah berbagai perubahan dalam model takziah sebagai imbas dari wabah ganas yang mendunia. Untuk terus bertahan, tradisi memang tidak lepas dari continuity and change, antara keberlangsungan dan perubahan. Yang terpenting adalah tidak meninggalkan hakikat dari takziah itu sendiri, yaitu sebagai wasilah menghibur dan menguatkan keluarga yang ditinggalkan.Â
Adapun perubahan pada model dan caranya, itu sah-sah saja, daripada tidak melakukan apapun. Berdonasi dengan cara transfer lebih baik dari pada tidak menyumbang sama sekali. Menghibur via telpon dan sosial media juga mendingan daripada berdiam diri seolah tak peduli.