[caption id="attachment_167122" align="aligncenter" width="640" caption="Tahun 2002 bulan Oktober, saya pernah duduk disini hampir 2 jam lebih untuk mengingat kata-kata dari bapak saya. Doakan saya bisa membawa mereka ke sini ya. (indonesiantourismontheworld.blogspot.com) "][/caption]
Pantai Sanur. Siapa sih yang tidak kenal dengan salah satu pantai yang cantik di Pulau Dewata Bali ini? Terakhir kali saya ke Bali tahun 2002 bertepatan dengan tragedi Bom Bali-1 tanggal 12  Oktober 2002. . Pas saat rombongan kami sedang naik kapal, di saat itulah bom di Jalan Legian Kuta meledak. Kami di beri tahu oleh guru kami  kalau di dekat Pantai Kuta ada bom dan kemungkinan untuk main ke sana kecil tapi akan tetap diusahakan untuk bisa masuk ke Kuta.
Alhamdullilah kami tetap bisa main ke sana. Sama sekali kami tidak tahu seberapa besar dampak dari Bom Bali-1 ini terhadap Pulau Dewata. Yang saya lihat  dan rasakan sendiri adalah Pantai Kuta tetap ramai dan padat oleh para pengunjung baik lokal maupun turis manca negara. Saya baru tahu kehebohan bom Bali-1 ini sepulangnya dari Bali dan mengikuti berita setiap hari. Saya sempat berfoto ria dengan beberapa bule, dan inilah pengalaman saya pertama kalinya melihat bule (dasar wong ndeso ya :D).
Sebelum saya berangkat ke Pulau Dewata, saya sudah diberi gambaran tentang Bali oleh bapak saya yang kebetulan jaman mudanya dulu pernah beberapa tahun hidup di sini kususnya daerah Sanur. Tentang pantai-pantai di Bali, tentang turis yang suka berpanas-panasan karena ingin kulitnya terlihat coklat dan nanti akan dipamerkan ke teman-temannya saat pulang kembali ke negaranya. Kata bapak saya menjadi suatu kebanggan tersendiri saat para bule ini bisa mengubah warna  kulitnya saat pulang ke negara asalnya, karena ini adalah bukti bahwa dia benar-benar main ke Bali, Pulau paling cantik di dunia dengan pantainya yang indah dan eksotik. Dulu saya tidak begitu mudeng dengan niat para bule berjemur dipantai, setelah dijelaskan oleh bapak saya, saya baru ngeh.
"Titip salam untuk Sanur, disanalah namamu berasal, nduk." Begini pesan bapak saya sebelum saya pamit. Sebelumnya saya pernah diberi tahu meski tidak begitu jelas kalau nama "Fera" yang sekarang saya sandang ini berasal dari pantai Sanur. Setelah saya tanya lagi, bapak saya mulai bercerita tentang asal-usul nama saya ini. Begini ceritanya, waktu bapak saya kira-kira umur 20-an tahun, setelah melancong ke Madura kemudian menyebrang ke Bali dan akhirnya terdampar di sekitar Sanur. Setiap sore saat matahari hampir tenggelam, bapak saya main ke pantai ini untuk sekedar duduk-duduk dan menikmati pemandangan yang ada, melihat para turis yang lalu lalang. Jaman dulu Sanur belum seramai sekarang tapi orang yang bermain ke Sanur selalu ada.
Di satu sore saat sedang duduk inilah bapak saya didekati oleh anak kecil yang tiba-tiba saja berlari kedalam pelukannya. Dia anak bule dengan rambut pirang dikepang dua, karena bapak saya tidak bisa ngomong Inggris, ya cuma diem saja sambil senyam-senyum memandang ke si gadis kecil. Dari jauh terdengar panggilan "Feraaa,,,,Feraaa,,,Feraaaa" dan membuat si gadis ini berlari ke arah orang tuanya. Bapak saya baru ngeh kalau gadis itu namanya "Fera" dan sejak saat itulah bapak saya berjanji dalam hati kalau nanti menikah dan punya anak perempuan akan di beri nama "Fera." Dan jadilah nama itu milik saya di tahun 80-an pertengahan. Satu keinginan terbesar saya adalah ingin mengajak kedua orang tua saya untuk menikmati Pulau Dewata kususnya pantai Sanur ini, pantai dimana nama saya berasal. Semoga harapan saya ini diberi kemudahan.
Saya pengen narsis sekali-kali disini, boleh ya? Saya bangga dan sangat senang diberi nama ini oleh orang tua saya. Nama Fera di kampung saya tidak ada duanya loh :D, pun juga saat saya sekolah SD, SMP (diantara 250-an murid) sampai tingkat SMA (diantara 600-an murid), bahkan sampai saya masuk ke PT untuk proses menjadi BMI. Saya punya beberapa teman yang katanya tidak PD dengan nama pemberian orang tuanya, bahkan baru-baru ini ada teman SD saya yang mengganti namanya mirip artis, sampai sukuran segala, beeuuuggghh.
Cuma sayangnya nama sebagus Fera ini masih banyak yang tega untuk merubahnya, hiks. dari F menjadi P, maklum ya orang desa biasa menyebut nama Fera menjadi Pera, Vina menjadi Pina, dst. Saya sih tidak masalah sebenarnya, cuma kalau bisa ngomong F kenapa kok harus diubah menjadi P. Kecuali orang Hong Kong yang tidak bisa ngomong "R" dan memanggil nama saya menjadi "Fela" :D
Curhat tidak penting karena bingung mau nulis apa. Dan ini asal usul nama saya, bagaimana dengan nama anda? Apapun nama yang diberikan oleh orang tua, hendaknya kita tetap bersyukur karena orang tua pasti punya alasan saat memberi nama untuk buat hatinya yang lahir ke dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H