[caption id="attachment_363750" align="aligncenter" width="578" caption="Kompas.com (AFP PHOTO / XAUME OLLEROS)"][/caption]
Berteriak lantang di panggung mungil di hadapan puluhan ribu, mungkin bahkan ratusan ribu tanpa rasa takut sedikit pun. Umurnya baru 17 tahun, seusia dia, tak sedikit anak remaja yang asyik pacaran, gandengan berduan jalan-jalan di pinggiran Hong Kong menikmati malam, apalagi ini masa libur. Banyak yang menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman sebaya menikmati beer atau anggur merah duduk di Kafe atau berkumpul di rumah.
[caption id="attachment_363736" align="aligncenter" width="279" caption=" Percaya tidak percaya, tapi ini Hong Kong. (@annahanna)"]
Tapi karena dia, Joshua Wong, saat ini, anak-anak seusia dia bahkan umur di bawah dia justru ikutan turun ke jalan berteriak bersama menuntut kebebasan demokrasi dan juga meminta Chief Executive turun dari jabatannya sebelum tanggal 3 Oktober.
Joshua membuka mata hati warga Hong Kong dan juga dunia. Tak perlu ganteng atau dewasa untuk memiliki keberanian menggapai sebuah perubahan. Dan itu sudah dia mulai saat masih berumur 15 tahun.
[caption id="attachment_363737" align="aligncenter" width="280" caption="Leader of Scholarism"]
Iya, saat umurnya masih 15 tahun, Joshua berani menolak sistem pendidikan nasional yang dimasukkan ke sekolah-sekolah Hong Kong. Sistem yang dimasukkan oleh China ini mengharuskan pelajar menumbuhkan dan mengembangkan sebuah "keterikatan emosional dengan China".
Peraturan ini ditolak mentah-mentah diikuti oleh seratusan ribu pelajar. Dan ternyata massa yang digalang Joshua saat itu sangat berguna untuk kembali menyatukan kekuatan dan semangat bersama, menuntut demokrasi langsung, memilih pemimpin Hong Kong tanpa campur tangan pemerintah pusat Beijing, China.
Joshua Wong, dia idola baru bagi kaum muda yang menginginkan perubahan. Berkat dia pula, saat ini ratusan ribu orang telah turun ke jalanan yang menjadi pusat-pusat ekonomi dan pemerintahan Hong Kong. Biasanya orang Hong Kong paling antiduduk lesehan di lantai, apalagi di jalanan aspal karena takut kotor. Tapi demi sebuah demokrasi, sejenak mereka mengenyampingkan semua itu. Bahkan banyak yang tiduran di jalanan tanpa alas, hanya tas ransel yang mereka gunakan sebagai bantal.
Kabar hari ini, Leung Chun Ying tegas mengatakan tidak akan mengundurkan diri dari jabatannya dan akan membuka dialog dengan mahasiswa. Jelas saja ini semakin memicu kemarahan massa meskipun mereka tetap berdemonstrasi secara damai.
Banyak sekali ilmu baru bisa kita petik dari cara orang Hong Kong berdemonstrasi. Mereka fokus ke tuntutan mereka. Sejenak lupakan bendera partai, lambang agama, status kaya atau miskin, gelar doktor atau profesor. Tak ada bendera berkibar dan berlomba mengatasnamakan organisasi atau LSM tertentu agar terlihat paling menonjol. Kostum mereka pun biasa saja, kaos oblong celana pendek dengan sepatu sport atau sendal. Hanya pita kuning yang membuat mereka seragam.