Mohon tunggu...
Fera Nuraini
Fera Nuraini Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Ponorogo. Doyan makan, pecinta kopi, hobi jalan-jalan dan ngobrol bareng. Lebih suka menjadi pendengar yang baik.\r\n\r\nMampir juga ke sini ya, kita berbagi tentang BMI\r\nhttp://buruhmigran.or.id/\r\ndan di sini juga ya \r\nwww.feranuraini.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja tanpa Leo

21 Desember 2012   07:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:16 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_230652" align="alignnone" width="605" caption="Senja hampir hilang di The Peak"][/caption]

Deretan kursi menghadap ke barat itu masih ada yang kosong satu. Aku mendekat lalu duduk di atasnya. Benar aku menghadap ke barat. Matahari malu-malu mulai sembunyi untuk mengakhiri petualangannya hari ini. Barat, timur, utara dan selatan adalah arah yang sangat sulit untuk aku bedakan. Hanya mataharilah yang membuatku yakin bahwa aku tak salah menghadap ke arah mana. Sore ini angin cukup membuat kedua tanganku reflek mendekap ke dada. Udara dengan suhu 10 derajat ditambah semilir angin yang hembusannya tanpa permisi terasa begitu dingin menusuk tulang. Meski hari ini matahari bersinar terang, namun menjelang malam hawa yang sudah dingin semakin bertambah dingin. Entah ini untuk ke berapa kali aku sudah lupa. Menikmati senja adalah hal yang paling aku tunggu saat libur Minggu tiba. Aku sengaja menjauh dari semua hiruk pikuk kawasan Victoria Park. Bukan karena tak ingin menjadi bagian dari mereka yang ada di sana, bukan. Aku sengaja memilih tempat ini karena aku ingin menyendiri. Itu saja alasanku, tak lebih. Mungkin alasan lain akan aku temukan belakangan setelah aku berhasil berdamai dengan perasaanku sendiri Aku menatap matahari yang tinggal kelihatan sedikit itu. Dia terus bergerak untuk undur diri. Dia menghilang berganti dengan langit berwarna jingga. “Boleh duduk di sini?” Sapa seseorang dengan senyum ramah. Aku hanya mengangguk tanda setuju dan meneruskan menikmati senja yang akan segera berlalu. “Sore yang indah. Senja yang indah. Mereka selalu setia dan tak pernah ingkar janji.” Kata orang yang duduk di dekatku sambil memandang lurus ke depan. Kursi ini hanya cukup di duduki oleh tiga orang. Aku di sebelah kanan dan dia di kiri, sedang tengahnya terisi tas tanganku sejak tadi.Aku menoleh ke arahnya dan kebetulan dia juga sedang menoleh ke arahku. Mata kami bertemu, lalu sama-sama tersenyum dan kembali menatap senja yang akan segera berlalu “Kamu sering ke sini?” Tanya dia. “Iya. Menikmati senja di sini kalau tidak hujan.” Jawabku datar “Kamu?” Tanyaku “Baru tiga kali aku ke sini. Dan tiga kali juga aku selalu melihatmu duduk di tempat yang sama, di jam yang sama dan dengan pandangan yang sama.” Jawabnya Ada sedikit kaget mendengar jawabannya. Aku gosok-gosok kedua telapak tanganku untuk mendapatkan kehangatan dan aku berhasil menemukannya “Kalau boleh tahu, kenapa kamu sendirian? Mana temanmu atau,,,,,pacarmu?” Tanyanya hati-hati “Aku lebih senang ke sini sendirian.” Jawabku singat The Peak memang selalu ramai, apalagi kalau hari Minggu. Beruntung aku selalu mendapat kursi kosong saat senja tiba. Mungkin orang-orang yang datang ke sini lebih memilih naik ke atas menikmati pemandangan jelang malam gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai warna lampu yang ada Ya, The Peak selalu menarik perhatian siapa saja, termasuk aku yang kini setia datang ke sini untuk menunggu senja. Hanya senja bagiku yang paling menarik dari The Peak. “Kamu suka tempat ini?” Tanyaku untuk memecah kenyusian “Sangat suka. Apalagi ada kamu.” Jawabnya sambil tertawa kecil “Eh, bisa ngegombal juga ya?” Balasku “Hari gini, siapa sih yang tidak bisa?” Jawabnya lagi. “Kita belum kenalan, kan?” Tanyanya seperti diingatkan “Leo.” Tangannya menjulur ke arahku. “Vio” Jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Kami bersalaman sebagai tanda perkenalan. Leo. Tingginya kira-kira 178 cm. Yang jelas lebih tinggi dari aku yang hanya 164 cm. Matanya sipit, kulitnya bersih. Rambutnya cepak seperti potongan ala tentara.  Sepatu kets berwarna putih garis ungu. Jaket kulit warna coklat menambah penampilannya menarik. Ya paling tidak menarik di mataku yang tiba-tiba begitu detail memperhatikan dia “Minggu depan masih ingin menikmati senja di sini?” Tanya Leo “Mungkin.” Jawabku. Lalu sama-sama diam. Angin semakin bersemangat menggerakkan dedaunan di sekeliling kami. “Sore, senja.” Sapa Leo seminggu kemudian. “Eh, kamu.” Jawabku kaget. “Sudah kuduga, kamu pasti ada di sini. Duduk di tempat yang sama, di jam yang sama dan dengan pandangan yang sama.” Balasnya lalu tanpa permisi langsung duduk di kursi, di sebelah kiriku. Minggu-minggu berikutnya Leo selalu datang ke The Peak. Selalu menyapaku dengan kalimat yang sama. “Sore, senja. Duduk di tempat yang sama, di jam yang sama dan dengan pandangan yang sama.” Sampai di suatu senja yang diselimuti mendung dia tak hadir lagi di tempat ini. Aku menunggu sampai jam menunjuk di angka delapan, namun sapaan yang aku rindukan tak juga hadir. Akh, Leo. Kenapa saat aku mulai menemukan alasan kenapa aku selalu menikmati senja di The Peak, kamu malah menghilang tanpa permisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun