[caption id="attachment_178335" align="alignnone" width="605" caption="100 BMI mendatangi hotel Sangrila tempat SBY menginap dan melakukan dialog dengan WNI "][/caption]
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) datang ke Hong Kong untuk membahas upaya meningkatkan kerja sama pembangunan, ketenagakerjaan, perdagangan, investasi, pendidikan, pariwisata, dan sosial budaya bersama Chief Executive Hongkong Special Administrative Region, Donald Tsang. Selain itu pak SBY juga bertemu dengan beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi pengusaha, pihak Konsulat Jenderal Tenaga Indonesia (KJRI) tentunya dan beberapa orang yang telah di pilih oleh KJRI untuk melakukan dialog bersama di hotel Sangrila, tempat dimana SBY beserta rombongan menginap.
Namun sayang, BMI yang tergabung dari beberapa organisasi yang selama ini begitu vocal terhadap pemerintahan SBY-Budiono yang dinilai tidak pro rakyat dan juga sering melakukan aksi demo di depan KJRI untuk menuntut kebijakan yang merugikan BMI, contoh tidak diijinkan untuk mengurus kontrak mandiri, menurunkan biaya penempatan yang masih HK$ 21.000, mengahupus mandatori KTKLN yang menjadi hantu BMI, terminal TKI yang menjadi sarang calo di bandara Soekarno-Hatta dan pelarangan menunggu visa di China/Macau tidak ada satupun yang diundang.
Anehnya lagi, menurut Sringatin dari IMWU, para WNI yang bertemu dengan SBY, saat melakukan dialog dilarang untuk menanyakan hal-hal yang selama ini menjadi tuntutan BMI Hong Kong. Pertanyaan yang diajukan diseleksi terlebih dahulu. Pertanyaan yang menyudutkan KJRI jangan harap bakal dibaca atau diajukan ke presiden. Rencana ini memang telah diatur oleh KJRI, mereka tidak ingin boroknya terlihat oleh presiden. KJRI sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong tidak pro terhadap nasib buruh, bahkan terus-terusan memaksa BMI untuk berurusan dengan agen yang telah memotong biaya sangat tinggi.
Karena itulah, pukul 09.30 pagi waktu Hong Kong, sekitar 100 BMI melakukan aksi demo di depan hotel Sangrila tempat mereka melakukan dialog. Dengan penjagaan ketat 400 polisi yang mengelilingi hotel dan setiap 10 meter ada 4 sampai 6 polisi. Aksi demo ini sebagai bentuk kekecewaan BMI terhadap KJRI dan SBY yang tidak mau bertemu dengan BMI dan hanya mau bertemu kalangan pengusaha saja.
Aksi semakin ramai saat buruh migrant dari Filipina ikut dalam demo ini. Bergantian dalam bahasa Indonesia, Kantonis dan Inggris para perwakilan dari organisasi melakukan orasi. Demo di depan Hotel berakhir damai pukul 12.30 siang dan dilanjutkan aksi yang lebih besar lagi di depan KJRI Hong Kong.
1500 BMI yang tergabung dalam ALIANSI BMI-HK CABUT UUPPTKILN NO 39/2004 & FPR-HK kembali melakukan demo di depan KJRI Hong Kong sebagai bentuk protes lanjutan setelah sebelumnya berdemo di depan hotel Sangrila. Pukul 14.00-16.00 Waktu Hong Kong, BMI melakukan orasi dengan penuh semangat di depan KJRI.
SBY datang ke Hong Kong bukan untuk menemui 150.000 rakyatnya yang menjadi buruh migrant. SBY lebih mementingkan bisnis yang hanya menguntungkan para pengusaha saja. Dan lebih “lebay” lagi, selama di Hong Kong, SBY meminta meminta pengawalan ketat polisi karena merasa nyawanya terancam.
SBY takut terhadap buruh migrant yang kesemuanya adalah perempuan. Padahal para BMI ini bukan teroris. Kami ingin bertemu presiden yang katanya bekerja untuk rakyat itu dan ingin menyampaikan beberapa keluhan yang kami rasakan, tidak lebih. Tapi kenapa justru dihalang-halangi dan pihak KJRI-lah yang menjadi pelopor agar para BMI ini tidak bertemu dengan presiden.
Perlu digaris bawahi, bukan BMI yang tidak ingin bertemu dengan SBY, tapi justru BMI-lah yang dihalang-halangi untuk bertemu dengan SBY beserta rombongan. Kalau ada media yang memutar balikkan fakta yang ada, ini sudah keterlaluan.
Dari pukul 10 pagi sampai pukul 17 sore saya selalu bersama rombongan BMI yang melakukan aksi demo dan tidak ada satupun perwakilan dari SBY yang menemui kami, pun juga pihak KJRI, tidak ada satupun yang turun untuk menjawab tuntutan kami, menjawab pertanyaan kami kenapa kami tidak diikutkan dalam dialog dengan SBY.
Konjen RI untuk Hong Kong, Teguh Wardoyo mungkin ketakutan kalau perwakilan dari organisasi ini ikut dialog dengan SBY. Takut kalau boroknya selama menjadi konjen di Hong Kong terbuka didepan SBY. Pelarangan kontrak mandiri, pelarangan pindah agen, pelarangan menunggu visa di China/Macau adalah beberapa kebijakan yang diambil oleh Teguh Wardoyo yang selama ini terus ditentang oleh BMI namun tetap kukuh untuk mempertahannya dengan alasan demi perlindungan. Padahal jelas-jelas peraturan itu sangat merugikan BMI karena biaya yang dikeluarkan semakin tinggi.
Semakin tahulah kita, semakin mengertilah kita kalau para pejabat negeri ini ternyata lebih pro pengusaha dari pada buruh. Lebih berpihak terhadap kaum atas dari pada rakyat miskin.
Isu kenaikan BBM juga diangkat oleh BMI Hong Kong. Meskipun kami tidak berada di tanah air, kenaikan BBM juga berdampak bagi keluarga kami. Selama SBY menjadi presiden, kenaikan BBM sudah 3 kali dilakukan dan ke 4 kalinya pada 1 April nanti. Seandainya pemerintah SBY cerdas dalam mempergunakan sumber daya alam yang ada, kita tidak akan menjadi buruh migrant. Sayangnya SDA yang ada terus dikeruk oleh pihak asing dan menganaktirikan warganya sendiri.
Sekali lagi saya tekankan di sini, bukan kami yang tidak mau bertemu dengan presiden SBY, tapi kami justru yang dihalang-halangi untuk bertemu SBY. Dan lebaynya SBY karena meminta pengawalan ketat polisi Hong Kong dan ini menjadi rekor tertingi karena sebelumnya tidak pernah ada pemimpin Negara dari manapun yang sampai dijaga oleh 400 personil polisi.
Bisa dinilai sendiri, ketakukan SBY di Hong Kong sangat tidak berasalan. “Pakai saja rok kalau gitu, presiden kok takut sama BMI perempuan.” Celetuk beberapa BMI yang ikut dalam aksi demo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H